Makalah
Tafsir Ayat Tentang Asnaf Az-Zakat
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Tafsir Ayat Ibadah
Dosen Pengampu:
Drs. H. Muhammad Nasuha, M.Si
Disusun Oleh:
Febryan Hidayat (124211045)
Muhammad Ali Fuadi (124211064)
PRODI TAFSIR HADITS
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014
I.
PENDAHULUAN
Zakat merupakan
bagian dari rukun Islam. Oleh sebab itu, zakat wajib dilaksanakan bagi setiap
Muslim, terutama zakat fitrah. Sudah seperti biasa, zakat wajib dilakukan
sebelum shalad ‘id berlangsung. Sebab, apabila zakat tersebut dilaksanakan
setelah shalat ‘id berlangsung, hukumnya tidak dinamakan zakat, melainkan
shadaqah biasa. Dan inilah yang harus dipahami oleh semua Muslim.
Tidak sembarang
orang berhak menerima zakat. Hanya orang-orang yang berhak menerima sajalah
yang boleh menerima zakat tersebut. Orang yang tidak berhak menerima, namun
tetap mengambil zakat, maka hukumnya haram. Dengan demikian, mereka wajib
mengembalikan zakat yang telah mereka ambil tersebut atau menyedekahkan kepada
orang lain, karena baginya adalah haram menerima zakat.
Oleh karena
pentingnya memahami dan mengetahui siapa saja yang berhak menerima zakat, pada
kesempatan kali ini pemakalah akan sedikit-banyak membahas tentang ayat-ayat
al-Qur’an yang membahas tentang orang-orang yang berhak menerima zakat serta
penafsiran dari ayat tersebut dari berbagai mufassir sekaligus para ilmuan
Muslim.
II.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan
latar belakang di atas, maka masalah yang paling urgen untuk dibahas dalam
makalah ini adalah:
1.
Mana Ayat yang
Menjelaskan Tentang Orang-Orang yang Berhak Menerima Zakat dan Bagaimana
Penafsiran Ayat tersebut?
2.
Jelaskan
Siapa Sajakah yang Berhak Menerima Zakat?
3.
Jelaskan tentang
Manfaat Zakat?
III.
PEMBAHASAN
1.
Tafsir
Ayat Tentang Asnaf Az-Zakat (Orang-orang yang Berhak Menerima Zakat)
Zakat adalah hak Allah, dan seseorang tidak boleh
memilih orang yang tidak memiliki hak terhadapnya atas orang lain. Seseorang
tidak boleh mencoba mengambil manfaat dengan cara apapun darinya, tidak juga ia
gunakan untuk menghindari kerugian pribadi. Dia tidak boleh berusaha melindungi
hartanya melaluinya, juga tidak boleh menghindari kesalahan. Bahkan, apa yang
wajib adalah bahwa setiap Muslim mengeluarkan Zakat kepada orang-orang yang
memiliki hak atasnya dan pantas menerimanya dan tidak untuk motif tersembunyi.
Dia harus melaksanakannya dengan senang dan ikhlas kepada Allah agar dia tidak
dimintai pertanggung jawaban atasnya dan mendapatkan pahala yang banyak.
Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan dalam
Kitab-Nya yang mulia kelompok orang-orang yang berhak atas Zakat. Allah
subhanahu wa ta’ala berfirman:
إِنَّمَا الصَّدَقٰتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالمَسٰكِينِ
وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ
وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ
وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Artinya: “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk
orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf
yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang,
untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu
ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana.” (QS At-Taubah : 60)
Allah mengingatkan hamba-hamba-Nya dengan
mengakhiri ayat ini dengan dua nama Allah, bahwa Dia Maha Mengetahui keadaan
hamba-hamba-Nya, Dia mengetahui siapa yang benar-benar berhak mendapatkan Zakat
dan siapa yang tidak. Dia Maha Bijaksana dalam syariat-Nya, Kehendak dan
Tindakan-Nya. Dia tidak melakukan sesuatu kecuali dengan cara yang benar-benar
sesuai, meskipun bila sebagian rahasia hikmah-Nya tidak diketahui oleh sebagian
orang. Di dalamnya, hamba-hamba-Nya mendapatkan
ketenangan dalam syariat-Nya dan juga berserah diri pada hikamah-Nya. [1]
Ayat tersebut
merupakan dasar pokok menyangkut kelompok-kelompok yang berhak menerima zakat.
Para ulama berbeda pendapat dalam memahami masing-masing kelompok. Secara
singkat dapat dikemukakan sebagai berikut.
Yang mereka
perselisihkan terutama mengenai makna huruf lam pada firman Allah لِلْفُقَرَاءِ (lilfuqara’). Imam Malik
berpendapat bahwa ia sekadar berfungsi menjelaskan siapa yang berhak menerima
zakat agar tidak keluar dari kelompok yang disebutkan. Allah menyebut
kelompok-kelompok itu hanya untuk menjelaskan kepada siapa saja sewajarnya
zakat diberikan, sehingga siapa pun di antara mereka maka jadilah. Zakat tidak
harus dibagikan kepada semua (kedelapan) kelompok yang disebut dalam ayat ini.
Imam Malik berpendapat bahwa ulama-ulama dari kalangan sahabat Nabi sepakat
membolehkan memberikan zakat walau kepada salah satu kelompok yang disebut oleh
ayat ini.
Imam Syafi’I
berpendapat bahwa huruf lam mengandung makna kepemilikan sehingga semua
yang disebut harus mendapatkan bagian yang sama. Ini menurutnya dikuatkan juga
oleh kata innama / hanya yang mengandung pengkhususan. Sementara para
ulama pengikut imam Syafi’I berpendapat bahwa kalau dibagikan untuk tiga
kelompok maka hal itu sudah cukup.[2]
Dalam tafsir Ibnu Abbas dijelaskan bahwa kata Al
masaakiin adalah orang-orang yang banyak mengadakan perjalanan
keliling. Sedangkan kata Al fuqaraa’ adalah para faqir dari
kaum muslim. [3]
Imam Syafi’i berkata : “Siapapun tidak
diperbolehkan membagikan zakat tanpa mengikuti apa yang telah ditetapkan oleh
Allah subhanahu wa ta’ala, hal itu jika kedelapan kelompok penerima zakat itu
ada. Karena hanya kelompok tersebutlah yang berhak menerima zakat. Zakat
diambil dari suatu kaum hendaknya di bagikan kepada orang yang berhak yang
hidup sekampung dengan mereka dan tidak dibagikan keluar lingkungan mereka,
kecuali jika tidak ada seorang pun yang berhak menerima zakat.”
Imam Syafi’i juga menambahkan bahwa, “tidak ada
perbedaan pendapat di kalangan umat islam bahwa zakat hanya boleh dibagikan
kepada mereka yang telah disebutkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala, dan dari
firman Allah tersebut terdapat dua pengertian. Pertama : zakat hanya diperuntukkan
bagi mereka yang disebutkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Kedua : zakat tidak
diperuntukkan bagi selain delapan golongan di atas meskipun dalam kondisi
tertentu.” [4]
Sedangkan kata الْعَامِلِينَ
berdasarkan bahasan para pakar hokum menjelaskan bahwa para pengelolanya juga
beragam. Namun yang jelas, mereka adalah yang melakukan pengelolaan terhadap
zakat, baik mengumpulkan, menentukan siapa yang berhak, mencari mereka, maupun
membagi dan mengantarkannya kepada mereka.
Firman Allah وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ (yang
dijinakkan hati mereka). Ada sekian macam yang dapat ditampung oleh kelompok
ini. Garis besarnya dapat dibagi dua. Pertama, orang kafir, dan kedua Muslim. Yang
pertama terbagi dua, yaitu yang memiliki kcenderungan memeluk Islam maka mereka
dibantu, dan yang kedua mereka yang dikhawatirkan gangguannya terhadap Islam
dan ummatnya. Keduanya tidak diberi dari zakat, namun harta rampasan.
Adapun yang
muslim, mereka terdiri dari berbagai macam. Pertama, mereka yang belum mantap
imannya dan diharapkan bila diberi agar menjadi lebih mantap imannya. Kedua,
mereka yang memiliki kedudukan dan pengaruh dalam masyarakat dan diharapkan
dengan memberinya akan berdampak positif kepada yang lain.[5]
Kata الرِّقَابِ merupakan
bentuk jamak dari kata رقبة
yang pada
awalnya diartikan sebagai “leher”. Makna ini berkembang sehingga bermakna
‘hamba sahaya’ karena tidak jarang hamba sahaya yang berasal dari tawanan
perang yang saat ditawan, tangan mereka dibelenggu dengan mengikatnya ke leher
mereka. Kata fi yang mendahului kata ar-riqab mengesankan bahwa
harta zakat yang merupakan bagian dari mereka itu diletakkan dalam wadah yang
khusus untuk keperluan mereka. Atas dasar ini, harta tersebut tidak diserahkan
kepada mereka pribadi, tetapi dilepaskan untuk melepas belenggu yang mengikat
mereka itu.[6]
Kata الْغَارِمِين adalah bentuk
jamak dari kata الغارم
yang artinya
“yang berhutang”, atau yang dililit utang sehingga tidak mampu membayarnya,
walaupun yang bersangkutan memiliki kecukupan untuk kebutuhan hidupnya dan
keluarganya. Jika ia tidak memiliki, ia termasuk kelompo fakir miskin. Tentu
saja, yang berhak menerima dalam bagian ini bukanlah mereka yang berfoya-foya
apalagi menggunakannya untuk kedurhakaan. Ketetapan hokum menyangkut
al-gharimin ini merupakan rahmat dan bantuan, baik untuk yang berutang maupun
yang memberinya, yakni baik untuk debitor maupun kreditor. Imam Syafi’I dan
Imam Ibnu Hanbal membenarkan juga memberi ganti dari zakat bagi siapa saja yang
menggunakan uangnya untuk melakukan perdamaian atau kepentingan umum.[7]
Kata فِي سَبِيلِ اللَّهِ dipahami oleh mayoritas ulama dari
arti para pejuang yang terlibat dalam peperangan, baik keterlibatannyalangsung
maupun tidak. Termasuk pula di dalamnya pembelian senjata, pembangunan benteng,
dan lain-lain yang berhubungan dengan pertahanan negara, sesuai dengan
kebutuhan dan perkembangan zaman. Ada juga yang berpendapat bahwa termasuk pula
dalam kelompok ini jamaah haji auatu umrah.
Kini sekian
banyak ulama kontemporer memasukkan dalam kelompok ini semua kegiatan sosial,
baik yang dikelola oleh perorangan maupun organisasi-organisasi Islam, seperti
pembangunan lembaga pendidikan, masjid, rumah sakit, dan lain-lain, dengan
alasan bahwa kata سَبِيلِ اللَّهِ dari segi
kebahasaan menyangkut segala aktivitas yang mengantar menuju jalan Allah. “Ini
adalah pintu yang sangat luas mencakup semua kamaslahatan umum.” Demikian tulis
Sayyid Quthub dalam tafsirnya.[8]
Adapun ابْنِ
السَّبِيلِ yang secara
harfiah berarti anak jalanan, para ulama dahulu memahaminya dalam arti siapa
pun yang kehabisan bekal dan dia sedang dalam perjalanan, walaupun dia kaya di
negeri asalnya. Sementara ulama tidak memasukkan dalam kelompok ini siapa di
antara mereka yang kehabisan bekal tetapi dapat berutang. Tetapi, pendapat ini
didukung oleh banyak ulama. Mengapa dia harus mengandalkan manusia kalau Allah
telah menjaminnya? Begitu tulis Al-Qurthubi membantah pendapat tersebut. Adapun
anak jalanan dalam pengertian anak-anak yang berada di dalan dan tidak memiliki
rumah tempat tinggal sehingga hamper sepanjang hari berada di jalan, mereka
tidak termasuk dalam kategori ini. Mereka berhak mendapat zakat dari bagian
fakir dan miskin.[9]
2.
Yang
Berhak Menerima Zakat
Ada delapan golongan yang berhak menerima zakat,
berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala di atas, yaitu :
a.
Faqir adalah orang-orang yang tidak dapat memenuhi
kebutuhan mereka kecuali sangat sedikit, yang kurang dari setengah (tahun).
Maka ketika seseorang tidak dapat menemukan sesuatu yang dapat memenuhi
kebutuhan keluarganya setidaknya selama setengah tahun dia dianggap fakir dan
dia harus diberikan apa yang dapat mencukupi dirinya dan keluarganya untuk satu
tahun.
b.
Miskin adalah orang-orang yang dapat memenuhi kebutuhan
hidupnya selama setengah tahun atau lebih, namun tidak mencukupi untuk satu
tahun. Maka mereka harus menerima bantuan yang dapat memenuhi kebutuhan setahun
bagi mereka. Jika seseorang tidak mempunyai uang tunai, namun mempunyai sumber
penghasilan, seperti profesi, gaji atau keuntungan dari investasi yang akan
mendukungnya secara finansial, dia tidak boleh diberikan Zakat. Ini berdasarkan
sabda Nabi shalallahu alaihi wasalam bersabda :
وَلَا حَظَّ فِيهَا لِغَنِيٍّ، وَلَا لِقَوِيٍّ
مُكْتَسِبٍ
“Tidak hak Zakat bagi orang kaya atau orang sehat
yang dapat bekerja.” (HR
Nasa’i dan Abu Dawud)
c.
Muallaf adalah orang-orang yang hatinya mudah berpaling.
Ini mencakup kelompok atau pemimpin kelompok yang tidak memiliki keimanan yang
kuat. Mereka harus diberikan zakat untuk menguatkan keimanan mereka, yang akan
menjadikan mereka penyeru-penyeru (da’i) Islam dan menjadi teladan yang baik.
Namun bagaimana jika seseorang lemah dalam keislamannya, dan dia bukan dari
kalangan pemimpin yang diikuti dan ditaati, namun dari kalangan masyarakat
biasa, apakah dia harus diberikan zakat untuk menguatkan keimanannya?
Sebagian ulama
berpendapat bahwa zakat harus diberikan kepadanya karena memberikan manfaat
kepada agama seseorang lebih baik daripada memberikan manfaat kepada jasadnya.
Lihatlah contoh orang yang miskin. Dia diberikan Zakat untuk memberi makan pada
jasadnya. Maka memberi makan kepada hati seseorang dengan keimanan adalah jauh
lebih baik dan lebih bermanfaat.
d.
Budak adalah yang termasuk di dalamnya adalah membeli
budak dengan menggunakan uang Zakat untuk membebaskannya, demikian juga
membebaskan tawanan perang dari kalangan Muslimin.
e.
Orang-orang
yang dililit utang adalah
mereka adalah orang-orang yang berutang. Hal ini dilakukan dengan syarat mereka
tidak memiliki sesuatu yang memungkinkan mereka untuk membebaskan diri dari
utang tersebut. Maka orang-orang ini patut diberikan yang cukup untuk
membebaskan mereka dari utangnya, apakah itu sedikit atau banyak, meskipun mereka
mungkin kaya karena mata pencahariannya. Maka dalam perkara dimana seseorang
mempunyai penghasilan yang mencukupi untuk penghidupan dirinya dan keluarganya,
namun dia memiliki utang yang tidak mampu dibayarnya, dia dapat diberikan
sejumlah zakat yang akan menghapuskan utang darinya. Namun demikian, tidak
diperbolehkan bagi seseorang yang memiliki piutang kepada orang miskin untuk membatalkan piutang
tersebut, dengan maksud untuk memberikan bagian zakatnya dengan cara itu.
f.
Jihad fi
Sabilillah adalah maka
orang-orang yang berperang dalam jihad harus diberikan bagian Zakat yang dapat
mencukupi mereka untuk berjihad dan memungkinkan mereka membeli peralatan yang
diperlukan untuk Jihad fi Sabilillah. Yang juga termasuk dalam ‘Di jalan Allah’
adalah ilmu syar’i. Maka seorang penuntut ilmu syar’i harus diberikan sejumlah
yang memungkinkannya untuk menuntut ilmu seperti buku, dan lain sebagainya.
Kecuali jika dia memiliki uang yang memungkinkannya untuk meraih hal itu.
g.
Ibnu
Sabil adalah seorang musyafir
yang terhenti dalam perjalanannya. Maka dia harus diberikan zakat yang cukup
untuk memungkinkan dia kembali ke negerinya.
h.
Amil adalah mereka adalah orang-orang yang ditugaskan
oleh penguasa untuk mengumpulkan zakat dari mereka yang wajib mengeluarkannya, dan
membagikannya kepada orang-orang yang berhak menerimanya, menjaga baitul mal
dan tugas-tugas lain yang berkaitan dengan zakat. Maka mereka harus diberikan
bagian zakat sesuai dengan pekerjaan yang mereka lakukan, meskipun jika mereka
adalah orang kaya.
Inilah orang-orang yang berhak menerima zakat,
mereka yang disebutkan Allah di dalam Kitab-Nya dan mengabarkan kepada kita
bahwa ini adalah perkara yang diwajibkan oleh-Nya, yang bersumber dari Ilmu dan
Kebijaksanaan-Nya. Dan Allah adalah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Tidak diperbolehkan untuk memberikan zakat kepada
selainnya, seperti untuk pembangunan masjid dan perbaikan jalan. Hal ini karena
Allah telah memyampaikan kepada kita orang-orang yang berhak menerima Zakat
dengan maksud untuk membatasi hanya pada yang disebutkan saja. Maka pembatasan
ini menunjukkan bahwa kita harus mengabaikan semua orang yang berpotensi
menerima zakat yang lainnya karena tidak tercakup dalam pembatasan tersebut.
Jika kita berpikir tentang orang-orang yang dapat
kita berikan zakat, kita akan menyadari bahwa diantara mereka ada orang-orang
yang membutuhkan zakat untuk kepentingan pribadi sebagaimana juga orang-orang
yang membutuhkannya untuk kepentingan kaum Muslimin secara umum. Maka dengan
ini, kita dapat melihat betapa hikmah dibalik kewajiban zakat. Dan kita akan
mengetahui bahwa hikmah dibalik zakat adalah untuk membentuk masyarakat yang
tegak sempurna, sebaik mungkin. Dan bahwa Islam tidak mengenyampingkan masalah
harta atau manfaat yang dapat diperoleh dari kekayaan, tidak juga membiarkan
sifat rakus dan kikir merajalela tanpa kendali dengan kebakhilan dan keinginan
yang sia-sia. Sebaliknya, ini merupakan petunjuk yang agung pendorong kearah
kebaikan dan perbaikan umat. [10]
3.
Manfaat
Zakat
Zakat memiliki banyak manfaat baik dari segi agama,
akhlak dan masyarakat yang akan kami bahas di bawah ini :
1.
Manfaat dari
segi Agama :
a.
Merupakan
ketaatan terhadap salah satu rukun islam yang diatasnya terletak kemakmuran
seseorang di dunia dan di akhirat.
b.
Membuat
seorang hamba lebih dekat kepada Tuhannya dan meningkatkan keimanan dalam
hatinya.
c.
Mendapat
pahala yang besar dari Allah
d.
Menghapuskan
dosa-dosa kecil.
2.
Manfaat dari
terhadap Akhlak seseorang :
a.
Akan
menumbuhkan sikap dermawan yang memiliki kebaikan dan kemurahan hati.
b.
Akan
menumbuhkan sifat-sifat penyayang dan bersimpati terhadap saudaranya yang
miskin, sesungguhnya Allah mengasihi orang yang mengasihi orang lain.
c.
Akan
menumbuhkan hati menjadi terbuka dan jiwa menjadi senang.
d.
Akan
membersihkan akhlak seseorang dari kekikiran dan kesengsaraan.
3.
Manfaat dari
segi Masyarakat :
a.
Zakat dapat
memenuhi kebutuhan orang miskin.
b.
Zakat akan
memperkuat kaum muslimin dan menaikkan statusnya.
c.
Mengeluarkan
zakat akan menambah harta seseorang dan menambah keberkahannya.
A.
KESIMPULAN
Berdasarkan
surat al-Taubah ayat 60 sudah jelas bahwa yang boleh menerima zakat adalah yang
tercantum dalam ayat tersebut. Di antaranya
adalah orang-orang
fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk
hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan
Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan.
Terlepas bagaimana setiap
penafsiran oleh para mufassir—karena memang setiap mufassir memiliki pendapat
yang berbeda—tentang makna dari kata-kata tersebut, yang pasti orang-orang yang
termasuk dalam kategori kedelapan orang tersebut, maka mereka berhak
mendapatkan zakat. Sedangkan yang tidak disebutkan di dalamnya, maka mereka
haram menerima zakat. Dan apabila tetap menerima atau mengambil zakat, maka
mereka wajib mengembalikan atau menyedekahkan zakat yang telah diterima
tersebut.
B.
PENUTUP
Demikianlah
makalah tentang “Tafsir Ayat Tentang Asnaf Az-Zakat” kami susun. Semoga
pembahasan tentang tema kali ini bermanfaat bagi kita semua. Sudah barang
tentu, makalah ini masih terdapat banyak kekurangan dan kesalahan, baik dalam
segi penulisan maupun isinya. Maka dari itu, diperlukan kritik dan saran yang
membangun agar dapat lebih baik dalam menyusun makalah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Syihab, M. Quraish. Tafsir Al-Misbah,
Volume I. Jakarta: Lentera Hati. 2000.
Al-Farran,
Ahmad Musthafa. Tafsir Imam Syafi’i.
Jakarta Timur. Almahira. 2008.
Bin Baz,
Abddul Aziz. E-book Zakat. Maktabah
Raudhah al-Muhibbin. 2009.
Ibnu Abbas. Tafsir Ibnu Abbas. Jakarta. Pustaka
Azzam. 2012.
Al-Utsaimin,
Muhammad bin Shalih. E-book Pelajaran
Mengenai Puasa, Tarawih dan Zakat. Maktabah Raudhah al-Muhibbin. 2008.
[1] Syaikh Abdul Aziz bin Baz, E-book Zakat, (Maktabah Raudhah
al-Muhibbin: 2009), h. 15-16
[2] M. Quraish Syihab, Tafsir
Al-Misbah, Volume I. (Jakarta: Lentera Hati, 2000), h. 141-142
[3] Ibnu Abbas, Tafsir
Ibnu Abbas, (Jakarta : Pustaka Azzam,2012), h. 398
[4] Syaikh Ahmad Musthafa al-Farran, Tafsir Imam Syafi’i, (Jakarta Timur : Almahira,2008), h. 640-642
[10] Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, E-book Pelajaran Mengenai Puasa, Tarawih dan
Zakat, (Maktabah Raudhah al-Muhibbin: 2008) hal 19-21
[11] Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, E-book Pelajaran Mengenai Puasa, Tarawih dan
Zakat, hal 15-17
Tidak ada komentar:
Posting Komentar