Suara Pena Pemuda

Menuju Cakrawala Perubahan

Kamis, 12 Maret 2015

Makalah Tafsir Ayat Tentang Asnaf Az-Zakat

Makalah
Tafsir Ayat Tentang Asnaf Az-Zakat
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Tafsir Ayat Ibadah
Dosen Pengampu:
Drs. H. Muhammad Nasuha, M.Si

Disusun Oleh:
Febryan Hidayat (124211045)
Muhammad Ali Fuadi (124211064)

PRODI TAFSIR HADITS
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014
I.       PENDAHULUAN
Zakat merupakan bagian dari rukun Islam. Oleh sebab itu, zakat wajib dilaksanakan bagi setiap Muslim, terutama zakat fitrah. Sudah seperti biasa, zakat wajib dilakukan sebelum shalad ‘id berlangsung. Sebab, apabila zakat tersebut dilaksanakan setelah shalat ‘id berlangsung, hukumnya tidak dinamakan zakat, melainkan shadaqah biasa. Dan inilah yang harus dipahami oleh semua Muslim.
Tidak sembarang orang berhak menerima zakat. Hanya orang-orang yang berhak menerima sajalah yang boleh menerima zakat tersebut. Orang yang tidak berhak menerima, namun tetap mengambil zakat, maka hukumnya haram. Dengan demikian, mereka wajib mengembalikan zakat yang telah mereka ambil tersebut atau menyedekahkan kepada orang lain, karena baginya adalah haram menerima zakat.
Oleh karena pentingnya memahami dan mengetahui siapa saja yang berhak menerima zakat, pada kesempatan kali ini pemakalah akan sedikit-banyak membahas tentang ayat-ayat al-Qur’an yang membahas tentang orang-orang yang berhak menerima zakat serta penafsiran dari ayat tersebut dari berbagai mufassir sekaligus para ilmuan Muslim.  

II.    RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah yang paling urgen untuk dibahas dalam makalah ini adalah:
1.            Mana Ayat yang Menjelaskan Tentang Orang-Orang yang Berhak Menerima Zakat dan Bagaimana Penafsiran Ayat tersebut?
2.            Jelaskan Siapa Sajakah yang Berhak Menerima Zakat?
3.            Jelaskan tentang Manfaat Zakat?

III. PEMBAHASAN
1.      Tafsir Ayat Tentang Asnaf Az-Zakat (Orang-orang yang Berhak Menerima Zakat)
Zakat adalah hak Allah, dan seseorang tidak boleh memilih orang yang tidak memiliki hak terhadapnya atas orang lain. Seseorang tidak boleh mencoba mengambil manfaat dengan cara apapun darinya, tidak juga ia gunakan untuk menghindari kerugian pribadi. Dia tidak boleh berusaha melindungi hartanya melaluinya, juga tidak boleh menghindari kesalahan. Bahkan, apa yang wajib adalah bahwa setiap Muslim mengeluarkan Zakat kepada orang-orang yang memiliki hak atasnya dan pantas menerimanya dan tidak untuk motif tersembunyi. Dia harus melaksanakannya dengan senang dan ikhlas kepada Allah agar dia tidak dimintai pertanggung jawaban atasnya dan mendapatkan pahala yang banyak.
Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan dalam Kitab-Nya yang mulia kelompok orang-orang yang berhak atas Zakat. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
إِنَّمَا الصَّدَقٰتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالمَسٰكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Artinya: “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS At-Taubah : 60)
Allah mengingatkan hamba-hamba-Nya dengan mengakhiri ayat ini dengan dua nama Allah, bahwa Dia Maha Mengetahui keadaan hamba-hamba-Nya, Dia mengetahui siapa yang benar-benar berhak mendapatkan Zakat dan siapa yang tidak. Dia Maha Bijaksana dalam syariat-Nya, Kehendak dan Tindakan-Nya. Dia tidak melakukan sesuatu kecuali dengan cara yang benar-benar sesuai, meskipun bila sebagian rahasia hikmah-Nya tidak diketahui oleh sebagian orang. Di dalamnya,  hamba-hamba-Nya mendapatkan ketenangan dalam syariat-Nya dan juga berserah diri pada hikamah-Nya. [1]
Ayat tersebut merupakan dasar pokok menyangkut kelompok-kelompok yang berhak menerima zakat. Para ulama berbeda pendapat dalam memahami masing-masing kelompok. Secara singkat dapat dikemukakan sebagai berikut.
Yang mereka perselisihkan terutama mengenai makna huruf lam pada firman Allah لِلْفُقَرَاءِ (lilfuqara’). Imam Malik berpendapat bahwa ia sekadar berfungsi menjelaskan siapa yang berhak menerima zakat agar tidak keluar dari kelompok yang disebutkan. Allah menyebut kelompok-kelompok itu hanya untuk menjelaskan kepada siapa saja sewajarnya zakat diberikan, sehingga siapa pun di antara mereka maka jadilah. Zakat tidak harus dibagikan kepada semua (kedelapan) kelompok yang disebut dalam ayat ini. Imam Malik berpendapat bahwa ulama-ulama dari kalangan sahabat Nabi sepakat membolehkan memberikan zakat walau kepada salah satu kelompok yang disebut oleh ayat ini.
Imam Syafi’I berpendapat bahwa huruf lam mengandung makna kepemilikan sehingga semua yang disebut harus mendapatkan bagian yang sama. Ini menurutnya dikuatkan juga oleh kata innama / hanya yang mengandung pengkhususan. Sementara para ulama pengikut imam Syafi’I berpendapat bahwa kalau dibagikan untuk tiga kelompok maka hal itu sudah cukup.[2]
Dalam tafsir Ibnu Abbas dijelaskan bahwa kata Al masaakiin adalah orang-orang yang banyak mengadakan perjalanan keliling. Sedangkan kata Al fuqaraa’ adalah para faqir dari kaum muslim. [3]
Imam Syafi’i berkata : “Siapapun tidak diperbolehkan membagikan zakat tanpa mengikuti apa yang telah ditetapkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala, hal itu jika kedelapan kelompok penerima zakat itu ada. Karena hanya kelompok tersebutlah yang berhak menerima zakat. Zakat diambil dari suatu kaum hendaknya di bagikan kepada orang yang berhak yang hidup sekampung dengan mereka dan tidak dibagikan keluar lingkungan mereka, kecuali jika tidak ada seorang pun yang berhak menerima zakat.”
Imam Syafi’i juga menambahkan bahwa, “tidak ada perbedaan pendapat di kalangan umat islam bahwa zakat hanya boleh dibagikan kepada mereka yang telah disebutkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala, dan dari firman Allah tersebut terdapat dua pengertian. Pertama : zakat hanya diperuntukkan bagi mereka yang disebutkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Kedua : zakat tidak diperuntukkan bagi selain delapan golongan di atas meskipun dalam kondisi tertentu.” [4]
Sedangkan kata الْعَامِلِينَ berdasarkan bahasan para pakar hokum menjelaskan bahwa para pengelolanya juga beragam. Namun yang jelas, mereka adalah yang melakukan pengelolaan terhadap zakat, baik mengumpulkan, menentukan siapa yang berhak, mencari mereka, maupun membagi dan mengantarkannya kepada mereka.
Firman Allah وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ (yang dijinakkan hati mereka). Ada sekian macam yang dapat ditampung oleh kelompok ini. Garis besarnya dapat dibagi dua. Pertama, orang kafir, dan kedua Muslim. Yang pertama terbagi dua, yaitu yang memiliki kcenderungan memeluk Islam maka mereka dibantu, dan yang kedua mereka yang dikhawatirkan gangguannya terhadap Islam dan ummatnya. Keduanya tidak diberi dari zakat, namun harta rampasan.
Adapun yang muslim, mereka terdiri dari berbagai macam. Pertama, mereka yang belum mantap imannya dan diharapkan bila diberi agar menjadi lebih mantap imannya. Kedua, mereka yang memiliki kedudukan dan pengaruh dalam masyarakat dan diharapkan dengan memberinya akan berdampak positif kepada yang lain.[5]
Kata الرِّقَابِ merupakan bentuk jamak dari kata رقبة yang pada awalnya diartikan sebagai “leher”. Makna ini berkembang sehingga bermakna ‘hamba sahaya’ karena tidak jarang hamba sahaya yang berasal dari tawanan perang yang saat ditawan, tangan mereka dibelenggu dengan mengikatnya ke leher mereka. Kata fi yang mendahului kata ar-riqab mengesankan bahwa harta zakat yang merupakan bagian dari mereka itu diletakkan dalam wadah yang khusus untuk keperluan mereka. Atas dasar ini, harta tersebut tidak diserahkan kepada mereka pribadi, tetapi dilepaskan untuk melepas belenggu yang mengikat mereka itu.[6]
Kata الْغَارِمِين adalah bentuk jamak dari kata الغارم yang artinya “yang berhutang”, atau yang dililit utang sehingga tidak mampu membayarnya, walaupun yang bersangkutan memiliki kecukupan untuk kebutuhan hidupnya dan keluarganya. Jika ia tidak memiliki, ia termasuk kelompo fakir miskin. Tentu saja, yang berhak menerima dalam bagian ini bukanlah mereka yang berfoya-foya apalagi menggunakannya untuk kedurhakaan. Ketetapan hokum menyangkut al-gharimin ini merupakan rahmat dan bantuan, baik untuk yang berutang maupun yang memberinya, yakni baik untuk debitor maupun kreditor. Imam Syafi’I dan Imam Ibnu Hanbal membenarkan juga memberi ganti dari zakat bagi siapa saja yang menggunakan uangnya untuk melakukan perdamaian atau kepentingan umum.[7]
Kata فِي سَبِيلِ اللَّهِ dipahami oleh mayoritas ulama dari arti para pejuang yang terlibat dalam peperangan, baik keterlibatannyalangsung maupun tidak. Termasuk pula di dalamnya pembelian senjata, pembangunan benteng, dan lain-lain yang berhubungan dengan pertahanan negara, sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan zaman. Ada juga yang berpendapat bahwa termasuk pula dalam kelompok ini jamaah haji auatu umrah.
Kini sekian banyak ulama kontemporer memasukkan dalam kelompok ini semua kegiatan sosial, baik yang dikelola oleh perorangan maupun organisasi-organisasi Islam, seperti pembangunan lembaga pendidikan, masjid, rumah sakit, dan lain-lain, dengan alasan bahwa kata سَبِيلِ اللَّهِ dari segi kebahasaan menyangkut segala aktivitas yang mengantar menuju jalan Allah. “Ini adalah pintu yang sangat luas mencakup semua kamaslahatan umum.” Demikian tulis Sayyid Quthub dalam tafsirnya.[8]
Adapun ابْنِ السَّبِيلِ yang secara harfiah berarti anak jalanan, para ulama dahulu memahaminya dalam arti siapa pun yang kehabisan bekal dan dia sedang dalam perjalanan, walaupun dia kaya di negeri asalnya. Sementara ulama tidak memasukkan dalam kelompok ini siapa di antara mereka yang kehabisan bekal tetapi dapat berutang. Tetapi, pendapat ini didukung oleh banyak ulama. Mengapa dia harus mengandalkan manusia kalau Allah telah menjaminnya? Begitu tulis Al-Qurthubi membantah pendapat tersebut. Adapun anak jalanan dalam pengertian anak-anak yang berada di dalan dan tidak memiliki rumah tempat tinggal sehingga hamper sepanjang hari berada di jalan, mereka tidak termasuk dalam kategori ini. Mereka berhak mendapat zakat dari bagian fakir dan miskin.[9]

2.      Yang Berhak Menerima Zakat
Ada delapan golongan yang berhak menerima zakat, berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala di atas, yaitu :
a.       Faqir adalah orang-orang yang tidak dapat memenuhi kebutuhan mereka kecuali sangat sedikit, yang kurang dari setengah (tahun). Maka ketika seseorang tidak dapat menemukan sesuatu yang dapat memenuhi kebutuhan keluarganya setidaknya selama setengah tahun dia dianggap fakir dan dia harus diberikan apa yang dapat mencukupi dirinya dan keluarganya untuk satu tahun.
b.      Miskin adalah orang-orang yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya selama setengah tahun atau lebih, namun tidak mencukupi untuk satu tahun. Maka mereka harus menerima bantuan yang dapat memenuhi kebutuhan setahun bagi mereka. Jika seseorang tidak mempunyai uang tunai, namun mempunyai sumber penghasilan, seperti profesi, gaji atau keuntungan dari investasi yang akan mendukungnya secara finansial, dia tidak boleh diberikan Zakat. Ini berdasarkan sabda Nabi shalallahu alaihi wasalam bersabda :
وَلَا حَظَّ فِيهَا لِغَنِيٍّ، وَلَا لِقَوِيٍّ مُكْتَسِبٍ
“Tidak hak Zakat bagi orang kaya atau orang sehat yang dapat bekerja.” (HR Nasa’i dan Abu Dawud)
c.       Muallaf adalah orang-orang yang hatinya mudah berpaling. Ini mencakup kelompok atau pemimpin kelompok yang tidak memiliki keimanan yang kuat. Mereka harus diberikan zakat untuk menguatkan keimanan mereka, yang akan menjadikan mereka penyeru-penyeru (da’i) Islam dan menjadi teladan yang baik. Namun bagaimana jika seseorang lemah dalam keislamannya, dan dia bukan dari kalangan pemimpin yang diikuti dan ditaati, namun dari kalangan masyarakat biasa, apakah dia harus diberikan zakat untuk menguatkan keimanannya?
Sebagian ulama berpendapat bahwa zakat harus diberikan kepadanya karena memberikan manfaat kepada agama seseorang lebih baik daripada memberikan manfaat kepada jasadnya. Lihatlah contoh orang yang miskin. Dia diberikan Zakat untuk memberi makan pada jasadnya. Maka memberi makan kepada hati seseorang dengan keimanan adalah jauh lebih baik dan lebih bermanfaat.
d.      Budak adalah yang termasuk di dalamnya adalah membeli budak dengan menggunakan uang Zakat untuk membebaskannya, demikian juga membebaskan tawanan perang dari kalangan Muslimin.
e.       Orang-orang yang dililit utang adalah mereka adalah orang-orang yang berutang. Hal ini dilakukan dengan syarat mereka tidak memiliki sesuatu yang memungkinkan mereka untuk membebaskan diri dari utang tersebut. Maka orang-orang ini patut diberikan yang cukup untuk membebaskan mereka dari utangnya, apakah itu sedikit atau banyak, meskipun mereka mungkin kaya karena mata pencahariannya. Maka dalam perkara dimana seseorang mempunyai penghasilan yang mencukupi untuk penghidupan dirinya dan keluarganya, namun dia memiliki utang yang tidak mampu dibayarnya, dia dapat diberikan sejumlah zakat yang akan menghapuskan utang darinya. Namun demikian, tidak diperbolehkan bagi seseorang yang memiliki piutang kepada orang miskin untuk membatalkan piutang tersebut, dengan maksud untuk memberikan bagian zakatnya dengan cara itu.
f.       Jihad fi Sabilillah adalah maka orang-orang yang berperang dalam jihad harus diberikan bagian Zakat yang dapat mencukupi mereka untuk berjihad dan memungkinkan mereka membeli peralatan yang diperlukan untuk Jihad fi Sabilillah. Yang juga termasuk dalam ‘Di jalan Allah’ adalah ilmu syar’i. Maka seorang penuntut ilmu syar’i harus diberikan sejumlah yang memungkinkannya untuk menuntut ilmu seperti buku, dan lain sebagainya. Kecuali jika dia memiliki uang yang memungkinkannya untuk meraih hal itu.
g.      Ibnu Sabil adalah seorang musyafir yang terhenti dalam perjalanannya. Maka dia harus diberikan zakat yang cukup untuk memungkinkan dia kembali ke negerinya.
h.      Amil adalah mereka adalah orang-orang yang ditugaskan oleh penguasa untuk mengumpulkan zakat dari mereka yang wajib mengeluarkannya, dan membagikannya kepada orang-orang yang berhak menerimanya, menjaga baitul mal dan tugas-tugas lain yang berkaitan dengan zakat. Maka mereka harus diberikan bagian zakat sesuai dengan pekerjaan yang mereka lakukan, meskipun jika mereka adalah orang kaya.
Inilah orang-orang yang berhak menerima zakat, mereka yang disebutkan Allah di dalam Kitab-Nya dan mengabarkan kepada kita bahwa ini adalah perkara yang diwajibkan oleh-Nya, yang bersumber dari Ilmu dan Kebijaksanaan-Nya. Dan Allah adalah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Tidak diperbolehkan untuk memberikan zakat kepada selainnya, seperti untuk pembangunan masjid dan perbaikan jalan. Hal ini karena Allah telah memyampaikan kepada kita orang-orang yang berhak menerima Zakat dengan maksud untuk membatasi hanya pada yang disebutkan saja. Maka pembatasan ini menunjukkan bahwa kita harus mengabaikan semua orang yang berpotensi menerima zakat yang lainnya karena tidak tercakup dalam pembatasan tersebut.
Jika kita berpikir tentang orang-orang yang dapat kita berikan zakat, kita akan menyadari bahwa diantara mereka ada orang-orang yang membutuhkan zakat untuk kepentingan pribadi sebagaimana juga orang-orang yang membutuhkannya untuk kepentingan kaum Muslimin secara umum. Maka dengan ini, kita dapat melihat betapa hikmah dibalik kewajiban zakat. Dan kita akan mengetahui bahwa hikmah dibalik zakat adalah untuk membentuk masyarakat yang tegak sempurna, sebaik mungkin. Dan bahwa Islam tidak mengenyampingkan masalah harta atau manfaat yang dapat diperoleh dari kekayaan, tidak juga membiarkan sifat rakus dan kikir merajalela tanpa kendali dengan kebakhilan dan keinginan yang sia-sia. Sebaliknya, ini merupakan petunjuk yang agung pendorong kearah kebaikan dan perbaikan umat. [10]

3.      Manfaat Zakat
Zakat memiliki banyak manfaat baik dari segi agama, akhlak dan masyarakat yang akan kami bahas di bawah ini :
1.      Manfaat dari segi Agama :
a.    Merupakan ketaatan terhadap salah satu rukun islam yang diatasnya terletak kemakmuran seseorang di dunia dan di akhirat.
b.    Membuat seorang hamba lebih dekat kepada Tuhannya dan meningkatkan keimanan dalam hatinya.
c.    Mendapat pahala yang besar dari Allah
d.   Menghapuskan dosa-dosa kecil.
2.      Manfaat dari terhadap Akhlak seseorang :
a.    Akan menumbuhkan sikap dermawan yang memiliki kebaikan dan kemurahan hati.
b.    Akan menumbuhkan sifat-sifat penyayang dan bersimpati terhadap saudaranya yang miskin, sesungguhnya Allah mengasihi orang yang mengasihi orang lain.
c.    Akan menumbuhkan hati menjadi terbuka dan jiwa menjadi senang.
d.   Akan membersihkan akhlak seseorang dari kekikiran dan kesengsaraan.
3.      Manfaat dari segi Masyarakat :
a.    Zakat dapat memenuhi kebutuhan orang miskin.
b.    Zakat akan memperkuat kaum muslimin dan menaikkan statusnya.
c.    Mengeluarkan zakat akan menambah harta seseorang dan menambah keberkahannya.
d.   Menghilangkan sifat dengki dan iri hari para faqir miskin. [11]




A.    KESIMPULAN
Berdasarkan surat al-Taubah ayat 60 sudah jelas bahwa yang boleh menerima zakat adalah yang tercantum dalam ayat tersebut. Di antaranya  adalah orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan.
Terlepas bagaimana setiap penafsiran oleh para mufassir—karena memang setiap mufassir memiliki pendapat yang berbeda—tentang makna dari kata-kata tersebut, yang pasti orang-orang yang termasuk dalam kategori kedelapan orang tersebut, maka mereka berhak mendapatkan zakat. Sedangkan yang tidak disebutkan di dalamnya, maka mereka haram menerima zakat. Dan apabila tetap menerima atau mengambil zakat, maka mereka wajib mengembalikan atau menyedekahkan zakat yang telah diterima tersebut.

B.     PENUTUP
Demikianlah makalah tentang “Tafsir Ayat Tentang Asnaf Az-Zakat” kami susun. Semoga pembahasan tentang tema kali ini bermanfaat bagi kita semua. Sudah barang tentu, makalah ini masih terdapat banyak kekurangan dan kesalahan, baik dalam segi penulisan maupun isinya. Maka dari itu, diperlukan kritik dan saran yang membangun agar dapat lebih baik dalam menyusun makalah selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA
Syihab, M. Quraish. Tafsir Al-Misbah, Volume I. Jakarta: Lentera Hati. 2000.
Al-Farran, Ahmad Musthafa. Tafsir Imam Syafi’i. Jakarta Timur. Almahira. 2008.
Bin Baz, Abddul Aziz. E-book Zakat. Maktabah Raudhah al-Muhibbin. 2009.
Ibnu Abbas. Tafsir Ibnu Abbas. Jakarta. Pustaka Azzam. 2012.
Al-Utsaimin, Muhammad bin Shalih. E-book Pelajaran Mengenai Puasa, Tarawih dan Zakat. Maktabah Raudhah al-Muhibbin. 2008.





[1] Syaikh Abdul Aziz bin Baz, E-book Zakat, (Maktabah Raudhah al-Muhibbin: 2009), h. 15-16
[2] M. Quraish Syihab, Tafsir Al-Misbah, Volume I. (Jakarta: Lentera Hati, 2000), h. 141-142
[3] Ibnu Abbas, Tafsir Ibnu Abbas, (Jakarta : Pustaka Azzam,2012), h. 398
[4] Syaikh Ahmad Musthafa al-Farran, Tafsir Imam Syafi’i, (Jakarta Timur : Almahira,2008), h. 640-642
[5] M. Quraish Syihab, Tafsir Al-Misbah, Volume I. (Jakarta: Lentera Hati, 2000), h. 143
[6] M. Quraish Syihab, Tafsir Al-Misbah, h. 144-145
[7] M. Quraish Syihab, Tafsir Al-Misbah, h. 145-146     
[8] M. Quraish Syihab, Tafsir Al-Misbah, Volume I. (Jakarta: Lentera Hati, 2000), h. 146
[9] M. Quraish Syihab, Tafsir Al-Misbah, Volume I, h. 147
[10] Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, E-book Pelajaran Mengenai Puasa, Tarawih dan Zakat, (Maktabah Raudhah al-Muhibbin: 2008) hal 19-21
[11] Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, E-book Pelajaran Mengenai Puasa, Tarawih dan Zakat, hal 15-17

Tidak ada komentar:

Posting Komentar