Harian Analisa, 16 Juni 2015
Daerah
pinggiran selalu menjadi pembicaraan yang tidak pernah usang di semua lini
kehidupan, disebabkan minimnya kepedulian terhadapnya. Dewasa ini daerah
pinggiran yang masih terabaikan berjumlah sangat banyak, meliputi wilayah
Sabang hingga Merauke, baik dalam segi pendidikan, perekonomian, infrastruktur,
dan lain sebagainya. Sudah barang tentu, ini merupakan tugas seluruh elemen
bangsa, terutama pemerintah, baik lokal maupun nasional untuk membenahi daerah
yang masih tertinggal tersebut.
Marwan Ja’far, Menteri Desa, Pembangunan
Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDTT) menjelaskan bahwa daerah
tertinggal di Indonesia mencapai 39.086 desa yang tersebar di 200 kabupaten
bahkan lebih. Tentu ini menjadi ironi tersendiri bagi negeri yang terkenal
agraris, maritim, dan kaya akan sumber daya alam (SDA). Idealnya, jika kekayaan
tersebut tersalurkan kepada seluruh penghuni negeri ini dengan baik dan benar,
daerah tertinggal tentu sudah tidak ada, bahkan semua wilayah akan mengalami
swasembada.
Pertanyaan yang muncul, mengapa kekayaan
yang dimiliki bangsa Indonesia tidak dapat tersajikan untuk seluruh penduduk di
Indonesia, terutama daerah yang tertinggal? Ini sekaligus menjadi cambuk bagi
pemerintah, supaya bersegera melakukan revolusi untuk negeri ini, agar tidak
terjadi ketimpangan sosial antara daerah yang satu dengan yang lain. Apalagi
pemerintah dalam hal ini Presiden Jokowi memiliki program unggulan yang
terangkum dalam Nawa Cita, yaitu membangun Indonesia dari pinggiran dengan
memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan.
Menyelesaikan Ketimpangan
Diakui maupun tidak, ketimpangan sosial di
alam negeri ini telah menjadi momok menakutkan. Pasalnya, tidak sedikit wilayah
terkesan masih diabaikan pemerintah. Banyaknya daerah tertinggal sebagaimana
diungkapkan Marwan Ja’far merupakan bukti nyata atas hal itu. Ini merupakan
permasalahan krusial, yang sudah barang tentu harus segera dipecahkan, karena
jika masih ditelantarkan maka akan berdampak terhadap pembangunan ekonomi dan
harmonitas sosial.
Dalam pendidikan misalnya, daerah pinggiran
masih belum mendapatkan pelayanan yang layak, baik dalam segi fasilitas sekolah
maupun tenaga pengajar (guru). Dalam bidang infrastruktur, daerah pinggiran pun
tidak mendapatkannya secara lebih baik. Hal itu bisa dilihat dari fasilitas
yang masih minim, mulai dari fasilitas umum seperti jalan, listrik, air bersih,
dan lain sebagainya. Kemudian dalam bidang perekonomian, pun demikian.
Ketimpangan sosial bahkan sangat kentara. Hal ini terkait barang konsumsi yang
digunakan masyarakat sehari-hari. Di luar Jawa, harga bahan pokok sangat
tinggi, bahkan berkali-kali lipat dari harga yang ada di wilayah Jawa. Sudah
tentu, permasalahan ini semua harus diselesaikan dengan secepatnya.
Permasalahan tersebut diakibatkan oleh
perhatian pemerintah yang masih belum merata terhadap seluruh daerah di
Indonesia. Selama ini yang selalu diprioritaskan dan dikedepankan adalah
wilayah Jawa, sedangkan untuk daerah lain masih nihil. Maka tidak mengherankan
jika pembangunan di Indonesia belum dinikmati masyarakat secara keseluruhan.
Hal ini bisa dilihat melalui struktur perekonomian Indonesia, yang mayoritas
masih dihegemoni kelompok wilayah di Pulau Jawa. Kontribusi wilayah ini
terhadap produk domestik bruto (PDB) mencapai sebesar 57,5 persen, selanjutnya
wilayah Sumatera sebesar 23,9 persen, sedangkan sisanya sekitar 18,6 persen
untuk wilayah selain Jawa dan Sumatera.
Dalam rangka mengentaskan daerah
tertinggal, pemerintah harus memprioritaskan program kerja sebagaimana tertera
dalam Nawa Cita, yakni dalam hal menyejahterakan seluruh penduduk Indonesia.
Program ini harus menjadi prioritas utama dalam pembangunan nasional, agar
ketimpangan sosial yang selama ini menghantui sebagian besar penduduk negeri
segera terselesaikan.
Keuletan dan Ketekunan
Upaya mengatasi permasalahan ini
membutuhkan dana dengan jumlah besar, dan tentunya juga membutuhkan tenaga
besar. Pemerintah tidak mungkin dapat berjalan sendiri tanpa dukungan dari
masyarakat. Karena itu, diperlukan berbagai pihak yang secara sinergis
membangun daerah tertinggal tersebut, agar ketimpangan sosial segera mental
dari negeri ini. Dalam hal ini, pemerintah harus menjadi elemen terdepan dan
mampu mendorong seluruh elemen bangsa untuk ikut andil memberantas ketimpangan
itu. Pemerintah harus mampu membuat berbagai upaya pembenahan disertai dengan
jiwa keuletan dan ketekunan.
Pertama, pembenahan infrastruktur secara
massal di berbagai wilayah. Di Indonesia, masih banyak wilayah yang belum
mendapatkan sarana prasarana memadai, terutama daerah tertinggal. Dalam rangka
membangun infrastruktur di beberapa wilayah, yang perlu diprioritaskan adalah
pembangunan fasilitas transportasi massal seperti jalan raya, bandara,
pelabuhan, dan lainnya. Selain itu juga melaksanakan pengembangan sarana komunikasi
seperti pembangunan tower jaringan selular dan lain sebagainya. Tidak kalah
penting adalah peningkatan sumber energi listrik. Infrastruktur yang memadai
dalam suatu negara akan dapat mendorong sekaligus memperkuat ekonomi, serta
dapat mengiklankan investasi jangka panjang yang dimiliki Indonesia di kancah
internasional.
Kedua, pemerintah mutlak bekerjasama dengan
para pengusaha. Banyak wilayah di seantero nusantara yang masih belum
dimaksimalkan oleh penduduk pribumi. Karena itu, pemerintah harus mampu
menggandeng pengusaha baik lokal maupun nasional untuk andil memberikan
tenaganya membantu penduduk tertinggal keluar dari kemelaratan. Pemerintah
bersama para pengusaha harus mampu menggali mutiara yang terkandung di wilayah
tersebut secara lebih baik. Kerja sinergis mutlak dilakukan untuk mengatasi hal
ini.
Ketiga, menjaga pertanian. Diakui, sebagian
besar penduduk pribumi terkonsentrasi di bidang pertanian, khususnya wilayah
pedesaan. Akan tetapi, selama ini pemerintah terkesan masih tak acuh terhadap
mereka. Bahkan, pemerintah terkesan tidak andil dalam penentuan harga produk
hasil pertanian, sehingga mengakibatkan para petani semakin mengeluh. Misal
saja ketika musim panen tiba, harga jual produk pertanian menurun sangat
drastis, padahal sebelum panen tiba harga relatif tinggi. Karena itu,
pemerintah harus mampu mematok harga produk pertanian dengan baik, agar para
petani tidak merasa dipermainkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.
Wallahu a’lam bi al-shawab.***
Oleh: Muhammad Ali Fuadi, Penulis adalah Perdana Menteri Monash
Institute Semarang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar