Suara Pena Pemuda

Menuju Cakrawala Perubahan

Jumat, 19 Juni 2015

Kepedulian Memajukan Daerah Pinggiran

Harian Analisa, 16 Juni 2015
Daerah pinggiran selalu menjadi pembicaraan yang tidak pernah usang di semua lini kehidupan, disebabkan minimnya kepedulian terhadapnya. Dewasa ini daerah pinggiran yang masih terabaikan berjumlah sangat banyak, meliputi wilayah Sabang hingga Merauke, baik dalam segi pendidikan, perekonomian, infrastruktur, dan lain sebagainya. Sudah barang tentu, ini merupakan tugas seluruh elemen bangsa, terutama pemerintah, baik lokal maupun nasional untuk membenahi daerah yang masih tertinggal tersebut.
Marwan Ja’far, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDTT) menjelaskan bahwa daerah tertinggal di Indonesia mencapai 39.086 desa yang tersebar di 200 kabupaten bahkan lebih. Tentu ini menjadi ironi tersendiri bagi negeri yang terkenal agraris, maritim, dan kaya akan sumber daya alam (SDA). Idealnya, jika kekayaan tersebut tersalurkan kepada seluruh penghuni negeri ini dengan baik dan benar, daerah tertinggal tentu sudah tidak ada, bahkan semua wilayah akan mengalami swasembada.
Pertanyaan yang muncul, mengapa kekayaan yang dimiliki bangsa Indonesia tidak dapat tersajikan untuk seluruh penduduk di Indonesia, terutama daerah yang tertinggal? Ini sekaligus menjadi cambuk bagi pemerintah, supaya bersegera melakukan revolusi untuk negeri ini, agar tidak terjadi ketimpangan sosial antara daerah yang satu dengan yang lain. Apalagi pemerintah dalam hal ini Presiden Jokowi memiliki program unggulan yang terangkum dalam Nawa Cita, yaitu membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan.
Menyelesaikan Ketimpangan
Diakui maupun tidak, ketimpangan sosial di alam negeri ini telah menjadi momok menakutkan. Pasalnya, tidak sedikit wilayah terkesan masih diabaikan pemerintah. Banyaknya daerah tertinggal sebagaimana diungkapkan Marwan Ja’far merupakan bukti nyata atas hal itu. Ini merupakan permasalahan krusial, yang sudah barang tentu harus segera dipecahkan, karena jika masih ditelantarkan maka akan berdampak terhadap pembangunan ekonomi dan harmonitas sosial.
Dalam pendidikan misalnya, daerah pinggiran masih belum mendapatkan pelayanan yang layak, baik dalam segi fasilitas sekolah maupun tenaga pengajar (guru). Dalam bidang infrastruktur, daerah pinggiran pun tidak mendapatkannya secara lebih baik. Hal itu bisa dilihat dari fasilitas yang masih minim, mulai dari fasilitas umum seperti jalan, listrik, air bersih, dan lain sebagainya. Kemudian dalam bidang perekonomian, pun demikian. Ketimpangan sosial bahkan sangat kentara. Hal ini terkait barang konsumsi yang digunakan masyarakat sehari-hari. Di luar Jawa, harga bahan pokok sangat tinggi, bahkan berkali-kali lipat dari harga yang ada di wilayah Jawa. Sudah tentu, permasalahan ini semua harus diselesaikan dengan secepatnya.
Permasalahan tersebut diakibatkan oleh perhatian pemerintah yang masih belum merata terhadap seluruh daerah di Indonesia. Selama ini yang selalu diprioritaskan dan dikedepankan adalah wilayah Jawa, sedangkan untuk daerah lain masih nihil. Maka tidak mengherankan jika pembangunan di Indonesia belum dinikmati masyarakat secara keseluruhan. Hal ini bisa dilihat melalui struktur perekonomian Indonesia, yang mayoritas masih dihegemoni kelompok wilayah di Pulau Jawa. Kontribusi wilayah ini terhadap produk domestik bruto (PDB) mencapai sebesar 57,5 persen, selanjutnya wilayah Sumatera sebesar 23,9 persen, sedangkan sisanya sekitar 18,6 persen untuk wilayah selain Jawa dan Sumatera.
Dalam rangka mengentaskan daerah tertinggal, pemerintah harus memprioritaskan program kerja sebagaimana tertera dalam Nawa Cita, yakni dalam hal menyejahterakan seluruh penduduk Indonesia. Program ini harus menjadi prioritas utama dalam pembangunan nasional, agar ketimpangan sosial yang selama ini menghantui sebagian besar penduduk negeri segera terselesaikan.
Keuletan dan Ketekunan
Upaya mengatasi permasalahan ini membutuhkan dana dengan jumlah besar, dan tentunya juga membutuhkan tenaga besar. Pemerintah tidak mungkin dapat berjalan sendiri tanpa dukungan dari masyarakat. Karena itu, diperlukan berbagai pihak yang secara sinergis membangun daerah tertinggal tersebut, agar ketimpangan sosial segera mental dari negeri ini. Dalam hal ini, pemerintah harus menjadi elemen terdepan dan mampu mendorong seluruh elemen bangsa untuk ikut andil memberantas ketimpangan itu. Pemerintah harus mampu membuat berbagai upaya pembenahan disertai dengan jiwa keuletan dan ketekunan.
Pertama, pembenahan infrastruktur secara massal di berbagai wilayah. Di Indonesia, masih banyak wilayah yang belum mendapatkan sarana prasarana memadai, terutama daerah tertinggal. Dalam rangka membangun infrastruktur di beberapa wilayah, yang perlu diprioritaskan adalah pembangunan fasilitas transportasi massal seperti jalan raya, bandara, pelabuhan, dan lainnya. Selain itu juga melaksanakan pengembangan sarana komunikasi seperti pembangunan tower jaringan selular dan lain sebagainya. Tidak kalah penting adalah peningkatan sumber energi listrik. Infrastruktur yang memadai dalam suatu negara akan dapat mendorong sekaligus memperkuat ekonomi, serta dapat mengiklankan investasi jangka panjang yang dimiliki Indonesia di kancah internasional.
Kedua, pemerintah mutlak bekerjasama dengan para pengusaha. Banyak wilayah di seantero nusantara yang masih belum dimaksimalkan oleh penduduk pribumi. Karena itu, pemerintah harus mampu menggandeng pengusaha baik lokal maupun nasional untuk andil memberikan tenaganya membantu penduduk tertinggal keluar dari kemelaratan. Pemerintah bersama para pengusaha harus mampu menggali mutiara yang terkandung di wilayah tersebut secara lebih baik. Kerja sinergis mutlak dilakukan untuk mengatasi hal ini.
Ketiga, menjaga pertanian. Diakui, sebagian besar penduduk pribumi terkonsentrasi di bidang pertanian, khususnya wilayah pedesaan. Akan tetapi, selama ini pemerintah terkesan masih tak acuh terhadap mereka. Bahkan, pemerintah terkesan tidak andil dalam penentuan harga produk hasil pertanian, sehingga mengakibatkan para petani semakin mengeluh. Misal saja ketika musim panen tiba, harga jual produk pertanian menurun sangat drastis, padahal sebelum panen tiba harga relatif tinggi. Karena itu, pemerintah harus mampu mematok harga produk pertanian dengan baik, agar para petani tidak merasa dipermainkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Wallahu a’lam bi al-shawab.***

Oleh: Muhammad Ali Fuadi, Penulis adalah Perdana Menteri Monash Institute Semarang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar