Suara Pena Pemuda

Menuju Cakrawala Perubahan

Minggu, 15 Maret 2015

Makalah Kaidah Penyelesaian Kontradiksi Antara Jarh wa at-Ta'dil

Kaidah Penyelesaian Kontradiksi Antara Jarh wa at-Ta'dil
Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Ilmu Jarh wa at-Ta'dil
Dosen Pengampu:
Dr. Zuhad, M.Ag


Disusun Oleh:
Muhammad Ali Fuadi (124211064)

PRODI TAFSIR HADITS
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014



I.              PENDAHULUAN
Al-Qur’an merupakan rujukan utama bagi umat Islam, sedangkan hadits merupakan rujukan kedua bagi umat Islam. Sudah barang tentu, meskipun keduanya merupakan rujukan yang digunakan oleh umat Islam, tentu memiliki perbedaan yang cukup mendasar. Salah satunya dalam hal keotentikan keduanya. Yaitu al-Qur’an bersifat sudah pasti kebenarannya (Qath’i al-Tsubuti), sedangkan hadits masih bersifat belum pasti kebenarannya (Dzanni al-Tsubuti).
Oleh karena hadits masih bersifat dzanni al-tsubuti, sehingga keotentikannya masih perlu dipertanyakan. Oleh karena itulah, kemudian para ulama memiliki inisiatif untuk membuat beberapa rumusan terkait ilmu-ilmu hadits, guna membantu proses penentuan keshahihan hadits. Banyak sekali rumusan-rumusan yang dibuat oleh ulama hadits, salah satunya yang membahas tentang jarh wa at-ta’dil.
Ilmu ini sangat penting digunakan untuk penentuan kualitas hadits. Ilmu ini menurut mayoritas para ulama diartikan sebagai ilmu yang membahas tentang kaidah-kaidah kejarahan/ keburukan seorang perawi dan keadilannya. Dalam hal ini, pemakalah akan sedikit-banyak membahas tentang yang berkaitan dengan kontradiksi antara jarh wa at’ta’dil. Dan terkhusus bagaimana cara penyelesaiannya.
II.           RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan pendahuluan makalah yang penulis sampaikan di atas, maka rumusan masalah yang pertama dan paling utama yang akan dikaji dalam makalah ini adalah:
1.      Bagaimana kaidah penyelesaian kontradiksi antara jarh wa at-ta’dil?
2.      Bagaimana penjelasan kaidah tersebut?

III.        PEMBAHASAN
1.      Kaidah penyelesaian kontradiksi antara jarh wa at-ta’dil
Di dalam kitab “‘Ilmu al-Jarhu wa at-Ta’dilu Ahmiyatuhu Tarikhuhu wa Qawa’iduhu” karya Dr.‘Athif Ahmad Aman dijelaskan bahwa:
Kaidah yang keempat dari Jarh wa at-Ta’dil adalah jika terjadi kontradiksi antara jarh wa at’ta’dil.[1] Dalam hal ini, kaidah penyelesaian kontradiksinya sendiri ada tiga, di antaranya adalah sebagai berikut:
a.      Keadaan yang pertama:
Keadaan yang pertama ini menjelaskan bahwa: Jika jarh dan ta’dil berkumpul dalam satu orang, dan penjarh tidak menyebutkan sebab jarh, atau menyebutkan sebab jarh tetapi mua’ddil juga menguatkan pendapatnya, maka sesungguhnya yang dijadikan hukum adalah ta’dil didahulukan atas jarh dan selanjutnya bisa dijadikan pegangan.

b.      Keadaan yang kedua, yaitu:
 
Keadaan yang kedua ini menjelaskan bahwa: Jika jarh dan ta’dil berkumpul dalam satu orang, dan penjarh menyebutkan sebab jarh, sedangkan mu’addil diam, maka sesungguhnya yang dijadikan hukum adalah jarh didahulukan daripada ta’dil.
Sehingga meskipun mu’addil lebih banyak daripada yang menjarh. Ini merupakan perkataan jumhur ulama muhadditsin. Dan sebagian dari mereka berpendapat bahwa mendahulukan ta’dil daripada jarh, meskipun jika ada mu’addil dengan jumlah lebih banyak. Dan ada sebagian yang lain berpendapat dengan perkataan untuk diberhentikan terlebih dahulu sehingga menjelaskan keadaan perawi, dan setiap perkataan ditolak dan diterima.

c.       Keadaan yang ketiga, yaitu:
Keadaan yang ketiga ini menjelaskan bahwa: Jika jarh dan ta’dil berkumpul, dan penjarh menyebutkan sebab jarh, dan bersamaan dengan itu mu’addil juga menyebutkan sebab menta’dil, maka hukumnya diberhentikan sehingga mendapatkan atau memperoleh keadaan yang jelas. Oleh karena itu dalam keadaan ini jarh dan ta’dil sesungguhnya sama, dan tidak dimenangkan salah satunya sampai akhir.[2]

2.      Penjelasan tentang Mendahulukan Jarh atas Ta’dil Jika Terjadi Pertentangan antara Jarh dan Ta’dil
Sedangkan di dalam kitab “Ar-Raf’u wa at-Takmil” dijelaskan bahwa: Ketika terjadi kontradiksi antara jarh dan ta’dil terhadap seorang perawi hadits, maka untuk menyelesaikannya:
Apabila bertentangan jarh dan ta’dil terhadap seorang perawi, maka pendapat yang dipandang shahih oleh Ibnu Shalah, Ar-Razy, Ad-Darimy dan lain-lain adalah “Jarh itu didahulukan atas ta’dil secara mutlak, walaupun yang menta’dilkan itu lebih banyak jumlahnya”. Demikian pula dinukilkan oleh Khathib daru jumhur ulama. Didahulukan jarh atas ta’dil, adalah karena orang yang mencacatnya mempunyai pengetahuan yang tidak dipunyai oleh orang yang menta’dil-kan itu. Yang mencacat menerangkan sesuatu hal yang tersembunyi dari yang menta’dilkan.[3]
Al-Khathib dalam kitab Al-Kifayah dan oleh penulis Al-Mashul menyatakan bahwa ada yang berpendapat bahwa jumlah orang yang memandang adil lebih banyak didahulukan ta’dil karena banyak jumlahnya menguatkan pendapat dan mengharuskan kita menghargai pendapat mereka. Mengenai pendapat ini, Al-Khathib berkata, “Ini suatu kesilapan dari orang yang berpendapat demikian, karena antara orang-orang yang mengadilkan itu walaupun berjumlah banyak, mereka tidak menolak apa-apa yang dikhabarkan oleh orang yang mencelanya.”
Al-Iroqy dalam Syarh Alfiyah dan Al-Sayuthy dalam kitab Al-Tadrib berkata, “Jika bertentangan jarh dan ta’dil, maka tiadalah menjadi kuat salah satunya tanpa ada yang menguatkan.” Menurut As-Sayuthy pendapat yang lebih shahih ialah jarh itu didahulukan atas ta’dil jika diterangkan sebabnya, walaupun jumlah orang yang menta’dilkan itu lebih banyak.
Selanjutnya Al-Khathib berkata, “Apabila seorang alim mengatakan bahwa segala orang yang dia riwayatkan haditsnya adalah terpercaya, walaupun dia tidak menyebutkan namanya, kemudian dia meriwayatkan dari orang yang tidak disebut namanya, maka kita tidak dapat beramal dengan tadzkiyah-nya dan tidak cukup untuk mamandang adil seseorang menurut pendapat yang shahih, sebelum dia menyebut nama orang itu, karena walaupun orang yang tidak disebut namanya itu terpercaya menurutnya, maka boleh jadi jika disebut namanya dia adalah orang yang majruh menurut orang lain. Dan jika yang mengatakan itu seorang  mujtahid, seperti Malik, Asy-Syafi’y, maka cukuplah perkataannya itu terhadap pengikut-pengikutnya, tidak terhadap orang lain. Dan inilah yang dipilih oleh Imam al-Haramain.”
Riwayat orang adil dari yang disebut namanya, tidaklah merupakan pengakuan bahwa orang yang disebut namanya itu adil. Demikianlah pendapat kebanyakan ahli hadits dan lain-lain, karena boleh jadi orang adil itu meriwayatkan dari orang yang tidak adil. Karenanya riwayatnya tidak merupakan pernyataan adil terhadap orang yang disebut namanya itu. Sebagian shahabat Asy-Syafi’y memandang yang demikian sebagai tanda pernyataan orang itu.
Apabila seorang alim memberi fatwa sesuai dengan suatu hadits, maka tidaklah dipandang bahwa orang alim itu memandang shahih hadits tersebut. Demikian pula apabila fatwanya menyalahi hadits, tidaklah merupakan pernyataan cacatnya terhadap hadits. Walhasil, ijma’ yang terjadi atas suatu hukum, tidaklah merupakan pernyataan sahnya hadits yang sesuai dengan hukum itu, karena boleh jadi yang dipegang adalah hadits yang lain.[4]

3.      Pendukung ulama Mengenai Berlakunya Kaidah “Tajrih” Didahulukan di atas “Ta’dil”
Ulama berbeda pendapat dalam menentukan mana yang harus didahulukan bila jarh dan ta’dil terkumpul pada diri seorang rawi. Hal ini dapat dikatakan sebagai berikut:
a.       Jarh didahulukan atas ta’dil walaupun orang yang menilai adil lebih banyak daripada yang menilai jarh.
Adapun alasan utama terhadap pendapat ini karena mujarrih (yang menilai jarh) lebih banyak mengetahui persoalan daripada yang menilai adil. Ibnu Shalah dalam Ulum al-Hadits menjelaskan bahwa:

“Jika jarh dan ta’dil terkumpul dalam diri seseorang, maka jarh didahulukan. Hal ini karena mu’addil hanya mengetahui hal-hal yang dzahir (dari orang itu) sedangkan jarih mengetahui hal-hal yang tersembunyi dari orang itu. Seandainya mu’addil itu lebih banyak, maka ta’dil atas orang tadi lebih utama diterima walaupun tetap yang shahih adalah pendapat jumhurdi mana jarh lebih utama didahulukan.”

b.      Jarh didahulukan atas ta’dil bila pencela atau yang menilai adil memiliki persyaratan tertentu.
Nuruddin ‘Itr, seorang komentator pendapat Ibnu Shalah yang ia pun sependapat bahwa jarh harus didahulukan atas ta’dil, memberikan syarat-syarat khusus bagi jarih wa mu’addil, di antaranya sebagai berikut:
ü  Jarh itu sendiri harus diterangkan sebabnya (mufassar) dan memenuhi persyaratan.
ü  Orang yang menilai majruh itu tidak ta’ashub terhadap mazhab.
ü  Mu’addil tidak bisa menerangkan jarh yang telah diterangkan mujarrih dengan menolaknya, kecuali jika hal itu dilakukan dengan mengemukakan argumentasi yang mu’tamad (bisa dipakai pegangan).[5]

KHIZ. Abidin, ulama Indonesia menjelaskan beberapa hal yang berhubungan dengan kaidah “Al-Jarh muqaddamun ‘ala ta’dil” sebagai berikut:
1.      Bila ta’dil disertai penjelasan dan tarjih tidak disertai penjelasan maka ta’dil yang berlaku.
2.      Bila ta’dil tidak dijelaskan dan tajrih diserta penjelasan maka tajrih yang berlaku.
3.      Ta’dil dan Tajrih tanpa penjelasan maka tajrih yang berlaku.
4.      Tajrih dengan penjelasan dan ta’dil dengan penjelasan maka harus ditimbang mana yang rajah (yang lebih unggul), dengan memperhatikan pedoman berikut:
a.       Bila penjelasan tajrih itu kuat dan penjelasan ta’dil tidak kuat maka tajrih yang berlaku.
b.      Bila penjelasan tajrih itu tidak kuat dan ta’dil kuat maka ta’dil yang berlaku.
c.       Bila penjelasan tajrih dan ta’dil itu seimbang maka didahulukan tajrih.
d.      Bila penjelasan kedua-duanya tidak kuat maka tajrih yang berlaku.
Sehubungan dengan beberapa pendapat ulama di atas beserta argumentasi masing-masing, maka kesimpulan pengalaman kaidah al-jarh muqaddamun ‘ala ta’dil sebagai beikut:
1.      Tajrih (celaan) itu harus diterangkan sebabnya dan bisa dipertangungjawabkan.
2.      Mujarrih (pencela) dan mu’addil (yang menilai adil) harus netral, yaitu mereka harus lebih mementingkan agama daripada sifat keakuan dan ta’ashub mazhab.
3.      Mu’addil (yang menilai adil) tidak bisa menolak keterangan pencela dengan data dan fakta yang yang meyakinkan. Pencela yang menilai adil betul-betul ahli dalam bidangnya. Untuk mengunci berbagai pendapat di atas, maka pendapat Ibn Katsir yang menyatakan bahwa pencela atau yang menilai adil harus betul-betul ahli dalam bidangnya sangatlah tepat dalam persoalan ini. Menurutnya, barulah celaan yang tidak diterangkan sebabnya bisa diterima.[6]
IV.        KESIMPULAN
Berdasarkan pemaparan penulis di atas mengenai “kaidah penyelesaian kontradiksi antara jarh dan ta’dil”, maka dapat disimpulkan bahwa ketika terjadi kontradiksi di dalamnya, maka yang harus dilakukan adalah:
·         Bila ta’dil disertai penjelasan dan tarjih tidak disertai penjelasan maka ta’dil yang berlaku.
·         Bila ta’dil tidak dijelaskan dan tajrih diserta penjelasan maka tajrih yang berlaku.
·         Ta’dil dan Tajrih tanpa penjelasan maka tajrih yang berlaku.
·         Tajrih dengan penjelasan dan ta’dil dengan penjelasan maka harus ditimbang mana yang rajah (yang lebih unggul),

V.           PENUTUP
Demikianlah makalah tentang “Kaidah Penyelesaian Kontradiksi Antara Jarh wa at-Ta’dil” saya susun. Semoga pembahasan tentang tema kali ini bermanfaat bagi kita semua. Sudah barang tentu, makalah ini masih terdapat banyak kekurangan dan kesalahan, baik dalam segi penulisan maupun isinya. Maka dari itu, diperlukan kritik dan saran yang membangun agar dapat lebih baik dalam menyusun makalah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Hindie, Imam Abi al-Hasanad Muhammad bin al-Hayyi al-Laknawi. Ar-Raf’u wat-Takmil fi jarh wa ta’dil.
Aman, Dr.‘Athif Ahmad. ‘Ilmu al-Jarhu wa at-Ta’dilu Ahmiyatuhu Tarikhuhu wa Qawa’iduhu.
Ash-Shiddieqy, Prof. Dr. Teungku Muhammad Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. Semarang: Pustaka Rizki Putra. 2013
KH. Prof. Dr. M. Abdurrahman, MA dan Elan Sumarna, M.Ag. Metode Kritik Hadits. Bandung: Remaja Rosdakarya. 2013





[1] Dr.‘Athif Ahmad Aman, ‘Ilmu al-Jarhu wa at-Ta’dilu Ahmiyatuhu Tarikhuhu wa Qawa’iduhu. h, 442
[2] Dr.‘Athif Ahmad Aman, ‘Ilmu al-Jarhu wa at-Ta’dilu Ahmiyatuhu Tarikhuhu wa Qawa’iduhu. h, 442-443
[3] Al-Hindie, Imam Abi al-Hasanad Muhammad bin al-Hayyi al-Laknawi. Ar-Raf’u wat-Takmil fi jarh wa ta’dil. h. 114-117
[4] Prof. Dr. Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2013), h. 287-289
[5] KH. Prof. Dr. M. Abdurrahman, MA dan Elan Sumarna, M.Ag, Metode Kritik Hadits, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013), h. 182-183
[6] KH. Prof. Dr. M. Abdurrahman, MA dan Elan Sumarna, M.Ag, Metode Kritik Hadits, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013), h. 184-185

1 komentar:

  1. Mohon maaf ka, bisa minta sumbernya itu ngga? Soalnya buat tugas kuliah juga🙏

    BalasHapus