Kaidah Penyelesaian Kontradiksi Antara Jarh wa
at-Ta'dil
Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Ilmu Jarh wa at-Ta'dil
Dosen Pengampu:
Dr. Zuhad, M.Ag
Disusun Oleh:
Muhammad Ali Fuadi (124211064)
PRODI TAFSIR HADITS
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014
I.
PENDAHULUAN
Al-Qur’an merupakan rujukan utama bagi umat
Islam, sedangkan hadits merupakan rujukan kedua bagi umat Islam. Sudah barang
tentu, meskipun keduanya merupakan rujukan yang digunakan oleh umat Islam,
tentu memiliki perbedaan yang cukup mendasar. Salah satunya dalam hal
keotentikan keduanya. Yaitu al-Qur’an bersifat sudah pasti kebenarannya (Qath’i
al-Tsubuti), sedangkan hadits masih bersifat belum pasti kebenarannya (Dzanni
al-Tsubuti).
Oleh karena hadits masih bersifat dzanni
al-tsubuti, sehingga keotentikannya masih perlu dipertanyakan. Oleh karena
itulah, kemudian para ulama memiliki inisiatif untuk membuat beberapa rumusan
terkait ilmu-ilmu hadits, guna membantu proses penentuan keshahihan hadits.
Banyak sekali rumusan-rumusan yang dibuat oleh ulama hadits, salah satunya yang
membahas tentang jarh wa at-ta’dil.
Ilmu ini sangat penting digunakan untuk
penentuan kualitas hadits. Ilmu ini menurut mayoritas para ulama diartikan
sebagai ilmu yang membahas tentang kaidah-kaidah kejarahan/ keburukan seorang
perawi dan keadilannya. Dalam hal ini, pemakalah akan sedikit-banyak membahas
tentang yang berkaitan dengan kontradiksi antara jarh wa at’ta’dil. Dan
terkhusus bagaimana cara penyelesaiannya.
II.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan pendahuluan makalah yang
penulis sampaikan di atas, maka rumusan masalah yang pertama dan paling utama
yang akan dikaji dalam makalah ini adalah:
1. Bagaimana kaidah penyelesaian kontradiksi antara jarh wa at-ta’dil?
2. Bagaimana penjelasan kaidah tersebut?
III.
PEMBAHASAN
1. Kaidah penyelesaian kontradiksi antara jarh wa at-ta’dil
Di dalam kitab “‘Ilmu
al-Jarhu wa at-Ta’dilu Ahmiyatuhu Tarikhuhu wa Qawa’iduhu” karya Dr.‘Athif
Ahmad Aman dijelaskan bahwa:

Kaidah yang
keempat dari Jarh wa at-Ta’dil adalah jika terjadi kontradiksi antara
jarh wa at’ta’dil.[1]
Dalam hal ini, kaidah penyelesaian kontradiksinya sendiri ada tiga, di
antaranya adalah sebagai berikut:
a. Keadaan yang pertama:

Keadaan yang pertama
ini menjelaskan bahwa: Jika jarh dan ta’dil berkumpul dalam satu orang, dan
penjarh tidak menyebutkan sebab jarh, atau menyebutkan sebab jarh tetapi
mua’ddil juga menguatkan pendapatnya, maka sesungguhnya yang dijadikan hukum adalah
ta’dil didahulukan atas jarh dan selanjutnya bisa dijadikan pegangan.
b. Keadaan yang kedua, yaitu:

Keadaan yang kedua ini
menjelaskan bahwa: Jika jarh dan ta’dil berkumpul dalam satu orang, dan penjarh
menyebutkan sebab jarh, sedangkan mu’addil diam, maka sesungguhnya yang
dijadikan hukum adalah jarh didahulukan daripada ta’dil.
Sehingga meskipun
mu’addil lebih banyak daripada yang menjarh. Ini merupakan perkataan jumhur
ulama muhadditsin. Dan sebagian dari mereka berpendapat bahwa mendahulukan
ta’dil daripada jarh, meskipun jika ada mu’addil dengan jumlah lebih banyak.
Dan ada sebagian yang lain berpendapat dengan perkataan untuk diberhentikan
terlebih dahulu sehingga menjelaskan keadaan perawi, dan setiap perkataan
ditolak dan diterima.
c. Keadaan yang ketiga, yaitu:


Keadaan yang ketiga
ini menjelaskan bahwa: Jika jarh dan ta’dil berkumpul, dan penjarh menyebutkan
sebab jarh, dan bersamaan dengan itu mu’addil juga menyebutkan sebab menta’dil,
maka hukumnya diberhentikan sehingga mendapatkan atau memperoleh keadaan yang
jelas. Oleh karena itu dalam keadaan ini jarh dan ta’dil sesungguhnya sama, dan
tidak dimenangkan salah satunya sampai akhir.[2]
2. Penjelasan tentang Mendahulukan Jarh atas Ta’dil Jika Terjadi Pertentangan
antara Jarh dan Ta’dil
Sedangkan di dalam
kitab “Ar-Raf’u wa at-Takmil” dijelaskan bahwa: Ketika terjadi kontradiksi
antara jarh dan ta’dil terhadap seorang perawi hadits, maka untuk
menyelesaikannya:
Apabila bertentangan
jarh dan ta’dil terhadap seorang perawi, maka pendapat yang dipandang shahih
oleh Ibnu Shalah, Ar-Razy, Ad-Darimy dan lain-lain adalah “Jarh itu didahulukan
atas ta’dil secara mutlak, walaupun yang menta’dilkan itu lebih banyak
jumlahnya”. Demikian pula dinukilkan oleh Khathib daru jumhur ulama.
Didahulukan jarh atas ta’dil, adalah karena orang yang mencacatnya mempunyai
pengetahuan yang tidak dipunyai oleh orang yang menta’dil-kan itu. Yang
mencacat menerangkan sesuatu hal yang tersembunyi dari yang menta’dilkan.[3]
Al-Khathib dalam kitab
Al-Kifayah dan oleh penulis Al-Mashul menyatakan bahwa ada yang berpendapat
bahwa jumlah orang yang memandang adil lebih banyak didahulukan ta’dil karena
banyak jumlahnya menguatkan pendapat dan mengharuskan kita menghargai pendapat mereka.
Mengenai pendapat ini, Al-Khathib berkata, “Ini suatu kesilapan dari orang yang
berpendapat demikian, karena antara orang-orang yang mengadilkan itu walaupun
berjumlah banyak, mereka tidak menolak apa-apa yang dikhabarkan oleh orang yang
mencelanya.”
Al-Iroqy dalam Syarh
Alfiyah dan Al-Sayuthy dalam kitab Al-Tadrib berkata, “Jika bertentangan jarh
dan ta’dil, maka tiadalah menjadi kuat salah satunya tanpa ada yang
menguatkan.” Menurut As-Sayuthy pendapat yang lebih shahih ialah jarh itu
didahulukan atas ta’dil jika diterangkan sebabnya, walaupun jumlah orang yang
menta’dilkan itu lebih banyak.
Selanjutnya Al-Khathib
berkata, “Apabila seorang alim mengatakan bahwa segala orang yang dia
riwayatkan haditsnya adalah terpercaya, walaupun dia tidak menyebutkan namanya,
kemudian dia meriwayatkan dari orang yang tidak disebut namanya, maka kita
tidak dapat beramal dengan tadzkiyah-nya dan tidak cukup untuk mamandang adil
seseorang menurut pendapat yang shahih, sebelum dia menyebut nama orang itu,
karena walaupun orang yang tidak disebut namanya itu terpercaya menurutnya,
maka boleh jadi jika disebut namanya dia adalah orang yang majruh menurut orang
lain. Dan jika yang mengatakan itu seorang
mujtahid, seperti Malik, Asy-Syafi’y, maka cukuplah perkataannya itu
terhadap pengikut-pengikutnya, tidak terhadap orang lain. Dan inilah yang
dipilih oleh Imam al-Haramain.”
Riwayat orang adil
dari yang disebut namanya, tidaklah merupakan pengakuan bahwa orang yang
disebut namanya itu adil. Demikianlah pendapat kebanyakan ahli hadits dan
lain-lain, karena boleh jadi orang adil itu meriwayatkan dari orang yang tidak
adil. Karenanya riwayatnya tidak merupakan pernyataan adil terhadap orang yang
disebut namanya itu. Sebagian shahabat Asy-Syafi’y memandang yang demikian sebagai
tanda pernyataan orang itu.
Apabila seorang alim
memberi fatwa sesuai dengan suatu hadits, maka tidaklah dipandang bahwa orang
alim itu memandang shahih hadits tersebut. Demikian pula apabila fatwanya
menyalahi hadits, tidaklah merupakan pernyataan cacatnya terhadap hadits.
Walhasil, ijma’ yang terjadi atas suatu hukum, tidaklah merupakan pernyataan
sahnya hadits yang sesuai dengan hukum itu, karena boleh jadi yang dipegang
adalah hadits yang lain.[4]
3. Pendukung ulama Mengenai Berlakunya Kaidah “Tajrih” Didahulukan di atas
“Ta’dil”
Ulama berbeda pendapat
dalam menentukan mana yang harus didahulukan bila jarh dan ta’dil terkumpul
pada diri seorang rawi. Hal ini dapat dikatakan sebagai berikut:
a. Jarh didahulukan atas ta’dil walaupun orang yang menilai adil lebih banyak
daripada yang menilai jarh.
Adapun alasan utama terhadap pendapat ini
karena mujarrih (yang menilai jarh) lebih banyak mengetahui persoalan
daripada yang menilai adil. Ibnu Shalah dalam Ulum al-Hadits menjelaskan bahwa:
“Jika jarh dan ta’dil terkumpul dalam diri seseorang, maka jarh
didahulukan. Hal ini karena mu’addil hanya mengetahui hal-hal yang dzahir (dari
orang itu) sedangkan jarih mengetahui hal-hal yang tersembunyi dari orang itu.
Seandainya mu’addil itu lebih banyak, maka ta’dil atas orang tadi lebih utama
diterima walaupun tetap yang shahih adalah pendapat jumhurdi mana jarh lebih
utama didahulukan.”
b. Jarh didahulukan atas ta’dil bila pencela atau yang menilai adil memiliki
persyaratan tertentu.
Nuruddin ‘Itr, seorang komentator pendapat
Ibnu Shalah yang ia pun sependapat bahwa jarh harus didahulukan atas ta’dil,
memberikan syarat-syarat khusus bagi jarih wa mu’addil, di antaranya sebagai
berikut:
ü Jarh itu sendiri harus diterangkan sebabnya (mufassar) dan memenuhi
persyaratan.
ü Orang yang menilai majruh itu tidak ta’ashub terhadap mazhab.
ü Mu’addil tidak bisa menerangkan jarh yang telah diterangkan mujarrih dengan
menolaknya, kecuali jika hal itu dilakukan dengan mengemukakan argumentasi yang
mu’tamad (bisa dipakai pegangan).[5]
KHIZ. Abidin, ulama Indonesia menjelaskan beberapa hal yang berhubungan
dengan kaidah “Al-Jarh muqaddamun ‘ala ta’dil” sebagai berikut:
1. Bila ta’dil disertai penjelasan dan tarjih tidak disertai penjelasan maka
ta’dil yang berlaku.
2. Bila ta’dil tidak dijelaskan dan tajrih diserta penjelasan maka tajrih yang
berlaku.
3. Ta’dil dan Tajrih tanpa penjelasan maka tajrih yang berlaku.
4. Tajrih dengan penjelasan dan ta’dil dengan penjelasan maka harus ditimbang
mana yang rajah (yang lebih unggul), dengan memperhatikan pedoman berikut:
a. Bila penjelasan tajrih itu kuat dan penjelasan ta’dil tidak kuat maka
tajrih yang berlaku.
b. Bila penjelasan tajrih itu tidak kuat dan ta’dil kuat maka ta’dil yang
berlaku.
c. Bila penjelasan tajrih dan ta’dil itu seimbang maka didahulukan tajrih.
d. Bila penjelasan kedua-duanya tidak kuat maka tajrih yang berlaku.
Sehubungan dengan beberapa pendapat ulama di atas beserta argumentasi
masing-masing, maka kesimpulan pengalaman kaidah al-jarh muqaddamun ‘ala ta’dil
sebagai beikut:
1. Tajrih (celaan) itu harus diterangkan sebabnya dan bisa
dipertangungjawabkan.
2. Mujarrih (pencela) dan mu’addil (yang menilai adil) harus netral, yaitu
mereka harus lebih mementingkan agama daripada sifat keakuan dan ta’ashub
mazhab.
3. Mu’addil (yang menilai adil) tidak bisa menolak keterangan pencela dengan
data dan fakta yang yang meyakinkan. Pencela yang menilai adil betul-betul ahli
dalam bidangnya. Untuk mengunci berbagai pendapat di atas, maka pendapat Ibn
Katsir yang menyatakan bahwa pencela atau yang menilai adil harus betul-betul
ahli dalam bidangnya sangatlah tepat dalam persoalan ini. Menurutnya, barulah
celaan yang tidak diterangkan sebabnya bisa diterima.[6]
IV.
KESIMPULAN
Berdasarkan pemaparan penulis di atas
mengenai “kaidah penyelesaian kontradiksi antara jarh dan ta’dil”, maka dapat
disimpulkan bahwa ketika terjadi kontradiksi di dalamnya, maka yang harus
dilakukan adalah:
·
Bila ta’dil disertai
penjelasan dan tarjih tidak disertai penjelasan maka ta’dil yang berlaku.
·
Bila ta’dil tidak
dijelaskan dan tajrih diserta penjelasan maka tajrih yang berlaku.
·
Ta’dil dan Tajrih
tanpa penjelasan maka tajrih yang berlaku.
·
Tajrih dengan
penjelasan dan ta’dil dengan penjelasan maka harus ditimbang mana yang rajah
(yang lebih unggul),
V.
PENUTUP
Demikianlah makalah tentang “Kaidah Penyelesaian Kontradiksi
Antara Jarh wa at-Ta’dil” saya susun. Semoga pembahasan tentang tema kali
ini bermanfaat bagi kita semua. Sudah barang tentu, makalah ini masih terdapat
banyak kekurangan dan kesalahan, baik dalam segi penulisan maupun isinya. Maka
dari itu, diperlukan kritik dan saran yang membangun agar dapat lebih baik
dalam menyusun makalah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Hindie, Imam
Abi al-Hasanad Muhammad bin al-Hayyi al-Laknawi. Ar-Raf’u wat-Takmil
fi jarh wa ta’dil.
Aman, Dr.‘Athif Ahmad. ‘Ilmu al-Jarhu wa at-Ta’dilu Ahmiyatuhu Tarikhuhu
wa Qawa’iduhu.
Ash-Shiddieqy, Prof. Dr. Teungku Muhammad
Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. Semarang: Pustaka Rizki Putra. 2013
KH. Prof. Dr. M. Abdurrahman, MA dan Elan
Sumarna, M.Ag. Metode Kritik Hadits. Bandung: Remaja Rosdakarya. 2013
[2] Dr.‘Athif Ahmad Aman, ‘Ilmu al-Jarhu wa
at-Ta’dilu Ahmiyatuhu Tarikhuhu wa Qawa’iduhu. h, 442-443
[3] Al-Hindie,
Imam Abi al-Hasanad Muhammad bin al-Hayyi al-Laknawi. Ar-Raf’u
wat-Takmil fi jarh wa ta’dil. h. 114-117
[4] Prof. Dr. Teungku Muhammad Hasbi
Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang: Pustaka
Rizki Putra, 2013), h. 287-289
[5] KH. Prof. Dr. M. Abdurrahman, MA
dan Elan Sumarna, M.Ag, Metode Kritik Hadits, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2013), h. 182-183
[6] KH. Prof. Dr. M. Abdurrahman, MA dan Elan
Sumarna, M.Ag, Metode Kritik Hadits, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013),
h. 184-185
Mohon maaf ka, bisa minta sumbernya itu ngga? Soalnya buat tugas kuliah juga🙏
BalasHapus