Suara Pena Pemuda

Menuju Cakrawala Perubahan

Rabu, 20 April 2016

Tafsir Sosio-Kultural

Makalah
Tafsir Sosio-Kultural
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Qawaid at-Tafsir
Dosen Pengampu:
Dr. Zuhad, M.Ag

Disusun Oleh:
Muhammad Ali Fuadi (124211064)

PRODI TAFSIR HADITS
FAKULTAS USHULUDDIN DAN  HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014
I.              PENDAHULUAN
Al-Qur’an merupakan firman Allah yang disampaikan oleh malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad Saw dan kemudian disampaikan kepada manusia secara mutawatir. Dalam Islam, al-Qur’an dijadikan sebagai pedoman pertama dan yang paling utama dalam menjalankan segala hal. Oleh karena al-Qur’an masih bersifat global, maka kemudian umat Muslim juga menggunakan pedoman kedua, yaitu hadits nabi, yang merupakan penjelas al-Qur’an.
Di atas sudah dijelaskan bahwa al-Qur’an masih bersifat global, sudah tentu kemudian membutuhkan penafsiran. Penafsiran yang dihasilkan di sini juga sangat berbeda antara mufassir satu dengan mufassir yang lain. Sebab, banyak para mufassir yang hidup bukan satu masa, akan tetapi mulai dari yang tergolong mufassir klasik, pertengahan, modern, bahkan kontemporer sebagaimana saat ini. Kondisi demikian menyebabkan perbedaan bentuk penafsiran, bahkan juga tergantung kemahiran atau berdasarkan kecenderungan ilmu yang dimiliki mufassir itu sendiri.
Memahami berbagai bentuk penafsiran yang sangat beragam tentu sangat menarik, sehingga memperbanyak ilmu kita, terutama dalam bidang tafsir. Al-Farmawy menjelaskan terdapat beberapa metode penafsiran, di antaranya tahlili, ijmali, muqaran, dan maudhu’i. Sedangkan bentuk penafsiran, yaitu al-riwayah dan al-ra’yi. Selain itu, ada pula corak penafsiran, di antaranya fiqhi, sufi, falsafi, adabi ijtima’i, ‘ilmi, dan masih banyak yang lainnya.
Dalam hal ini, pemakalah akan fokus membahas penafsiran dengan corak tafsir adabi ijtima’i atau yang biasa disebut dengan tafsir sosio-kultural.
II.          RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan pendahuluan makalah yang penulis sampaikan di atas, maka masalah penting yang perlu dibahas dalam makalah ini adalah:
1.      Apa yang Dimaksud Dengan Tafsir Sosio-Kultural?
2.      Bagaimana Penerapan Tafsir Sosio-Kultural?
III.       PEMBAHASAN
1.      Pengertian Tafsir Sosio-Kultural
Secara etimologis, tafsir sosio-kultural disebut juga dengan tafsir adabi al-ijtima’i. Al-adabi al-ijtima’i berasal dari dua kata, yaitu adabi yang berarti sopan santun, tata krama. Kata tersebut juga diartikan sebagai norma-norma yang dijadikan sebagai pegangan atau pedoman bertingkah laku bagi seseorang dalam kehidupannya. Sedangkan ijtima’i berarti banyak bergaul atau berbaur dengan masyarakat. Jadi, tafsir ini merupakan bentuk tafsir yang berorientasi pada sikap atau perilaku dan kemasyarakatan.[1]
Tafsir ini juga mengacu mengacu kepada pertimbangan fenomenologis. Dengan begitu, maka untuk memahami al-Qur’an dengan baik harus memanfaatkan konsep pengetahuan yang mapan. Penggunaan pengetahuan inilah disebut dengan baik teknik interpretasi kultural. Kultural di sini ialah himpunan pengetahuan yang dipergunakan manusia untuk menginterpretasikan pengalaman serta menghasilkan perilaku sosial.[2]
Sedangkan secara terminologis, sebagaimana yang dijelaskan atau dipaparkan oleh Dr. Muhammad Husain Adz-Dzahabi, tafsir al-adabi al-ijtima’i merupakan tafsir yang menyingkapkan tentang makna balaghah, keindahan bahasa al-Qur’an serta ketelitian redaksinya, mengaitkan kandungan ayat dengan sunnatullah, dan biasanya juga dengan aturan hidup dalam masyarakat. Tafsir ini digunakan untuk memecahkan problematika khusus umat Islam serta manusia pada umumnya.
Tidak berbeda dengan penjelasan di atas, Syeikh Manna’ al-Qatthan mendefinisikan tafsir adabi al-ijtima’i sebagai tafsir yang diperkaya dengan riwayat salaf al-ummah dan dengan uraian tentang sunnatullah yang berlaku di tengah masyarakat. Tafsir ini menguraikan gaya al-Qur’an dengan cara menyingkapkan maknanya dengan ibarat-ibarat yang mudah serta berusaha menerangkan masalah-masalah yang musykil dengan maksud untuk mengembalikan kehormatan Islam serta mengobati penyakit yang ada dalam masyarakat sesuai petunjuk al-Qur’an.
Berdasarkan penjelasan di atas sudah jelas bahwa tafsir adabi al-ijtima’i merupakan tafsir yang berbicara tentang petunjuk-petunjuk al-Qur’an yang berkaitan langsung dengan masyarakat, serta usaha-usaha untuk menanggulangi berbagai penyakit masyarakat atau permasalahan yang ada dalam masyarakat berdasarkan petunjuk ayat al-Qur’an, dengan cara mengemukakan petunjuk-petunjuk dalam bahasa yang mudah dipahami.[3]
Maka tidak mengherankan apabila Muhammad Abduh, pengarang tafsir al-Manar mengatakan bahwa ajaran agama secara umum terbagi dalam dua bagian, yaitu rinci dan umum. Yang rinci adalah sekumpulan ketetapan Allah dan Nabi-Nya yang tidak dapat mengalami perubahan atau perkembangan, sedangkan yang umum adalah prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah yang dapat berubah-ubah penjabaran dan perinciannya sesuai dengan kondisi sosial.
Dari sini Abduh mengecam ulama-ulama pada masanya yang mengharuskan masyarakat mereka mengikuti hasil pemahaman ulama-ulama terdahulu tanpa memperhatikan perbedaan kondisi sosial. Hal ini, menurut Abduh, “mengakibatkan kesukaran bagi masyarakat, bahkan mendorong mereka mengabaikan ajaran-ajaran agama”.
Kaum muslimin telah menanggalkan agama mereka karena perhatian selama ini hanya tertuju kepada redaksi ayat-ayat (nash), tanpa memperhatikan ruh/jiwa ayat-ayat itu sendiri. Kata Abduh, itulah sebabnya mengapa ia mengusulkan kepada para ulama “agar mereka menghimpun diri dalam satu kelompok atau organisasi, yang di dalamnya mereka dapat mediskusikan soal-soal keagamaan dan mencari ‘illat (motif) dari setiap ketetapan, sehingga suatu hukum yang ditetapkan berdasarkan satu kondisi tertentu, hendaklah kondisi tersebut dijelaskan. Bila kondisinya berubah, maka ketetapan itu juga dapat berubah.” Dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an, teristimewa yang menyangkut ayat-ayat hukum, landasan ini tidak pernah diabaikannya.
Melalui kedua hal tersebut di atas Abduh berusaha untuk mencapai tujuannya, yakni menjelaskan hakikat ajaran Islam yang murni menurut pandangannya serta menghubungkan ajaran tersebut dengan kehidupan masa kini. Corak tafsirnya terhadap ayat-ayat al-Qur’an jelas diwarnai oleh pandangan-pandangan tersebut.[4]
2.      Contoh Penerapan Tafsir Sosio-Kultural
Contoh penerapan tafsir bentuk ini adalah sebagaimana yang terdapat dalam surah al-An’am ayat 103 pada penafsiran dalam tafsir al-maraghi :
لَا تُدْرِكُهُ الْأَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الْأَبْصَارَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ
Artinya: “Mata tidak dapat melihat dengan sesuatu pengamatan menyeluruh yang mampu mengetahui jati diri (hakikat) Allah
Ayat tersebut satu makna dengan al-Baqarah ayat 55:
وَإِذْ قُلْتُمْ يَامُوسَى لَنْ نُؤْمِنَ لَكَ حَتَّى نَرَى اللهَ جَهْرَةً فَأَخَذَتْكُمُ الصَّاعِقَةُ وَأَنْتُمْ تَنْظُرُونَ
Artinya: “Dia mengetahui segala yang ada di hadapan dan di belakang mereka dan sebaliknya) mereka sedikitpun tidak mengetahui secara menyeluruh tentang ilmu-Nya
Menafikan betapa tidak dapat mencakupnya ilmu manusia tentang Allah, bukan berarti manusia tidak memiliki ilmu tersebut sama sekali. Demikian pula, menafikan ketidakmampuan mata melihat atau mengamati sesuatu secara menyeluruh bukan berarti mata tersebut tidak dapat melihat sesuatu sama sekali. Berdasar premis tersebut, maka dapat dipahami bahwa tidak terdapat kontradiktif dengan hadits-hadits shohih yang menginformasikan tentang kemampuan seorang mukmin untuk melihat Tuhannya di akherat kelak sebagaimana hadits: “Sesungguhnya kalian akan melihat Tuhan pada hari kiamat sebagaimana kalian melihat bulan di malam purnama, dan sebagaimana kalian melihat matahari yang tidak tertutup awan” (HR. Buchari).
Namun hal ini tidak bagi orang kafir yang terhijab sebagaimana surah al-Muthaffifin ayat 15:
كلا إنهم عن ربهم يومئذ لمحجوبون
Artinya: “Sekali-kali tidak demikian, sesungguhnya mereka (orang-orang kafir) pada hari itu terhijab dari-Nya”.
Kalimat “wa huwa yudrikul abshoru” yang berarti “Allah Swt melihat mata yang sedang melihat” artinya bahwa dengan pengamatan yang komprehensif maka tiada pengamatan Tuhan yang luput sedikit pun; baik secara hakikat itu sendiri maupun pengetahuan tentangnya. Sebagaimana ahli bedah mata yang mengetahui konstruksi anatomi mata dan setiap fungsi bagian dari mata untuk mendeteksi benda dan cahaya, merupakan sunatullah cahaya yang dipantulkan oleh benda tersebut dan masuk ke mata kita, sehingga terbentuk bayangan benda tersebut dalam mata, namun belum mampu mengetahui hakikat (substansi) dari penglihatan, kekuatan penglihatan dan jati diri cahaya itu sendiri.
Sedang menurut lisan ‘Arab Abu Ishaq, dalam kalimat itu Allah telah memberitahukan bahwa Dia mengetahui hakikat penglihatan. Tersirat bahwa manusia yang tidak mampu melihat hakikat penglihatan, kenapa bisa melihat, maka dalam hal ini Allah memberitahukan bahwa hakikat makhluk saja manusia tidak dapat memahami, sehingga bagai mana mungkin dapat memahami hakikat Allah yang Maha Lathif lagi maha Tahu.
Adapun hadits-hadits yang menginformasikan kemungkinan melihat Allah pun tak dapat ditolak karena konotasi ayat merujuk kepada sesuatu yang cangkupannya lebih luas dan menyeluruh. Sedang kalimat “wa huwa lathiful Khobir” artinya bahwa substansi Allah itu Maha Lathif/ Lembut sehingga tidak mampu mengamati hakikat-Nya. Allah Maha Tahu tentang segala sesuatu sampai dengan partikel terkecilnya, namun Allah tidak dapat diamati dengan mata. Inilah makna dari Allah mengetahui hakikat penglihatan dan penglihatan (manusia) tak mampu mengamati-Nya.
Penafsiran al-Maraghi ini mudah difahami bila dibandingkan dengan penafsiran mufassirin masa klasik. Hal itu disebabkan oleh pemilihan bahasa yang sesuai dengan kondisi perkembangan umat modern yakni lugas dan tidak berbelit. Ungkapan singkat, padat, lugas dan tidak berbelit ini disebut dengan tafsir adabi ijtima’i (tafsir sosial kemasyarakatan).
Meski tujuannya adalah mengurai sesuatu yang abstrak, namun dengan menganalogikan dengan sesuatu berkembang di zaman-nya seperti pemahaman tentang ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga maknanya dapat dengan mudah ditangkap oleh pembaca/pendengarnya.
Sehingga dalam hal ini, tafsir al-Maraghi dikatakan sebagai tafsir modern yang mengikuti penafsiran al-ra’y melalui metode analitis sosial kemasyarakatan atau di sebut dengan penafsiran yang berangkat dari pemikiran rasional obyektif dan argumentatif (al-ra’y) melalui metode (analitis) dan mengacu pada suatu corak yakni sosial kemasyarakatan.[5]
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا (29)
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, janagnlah kalian memakan harta-harta kalian di antara kalian dengan cara yang batil, kecuali dengan perdagangan yang kalian saling ridha. Dan janganlah kalian membunuh diri-diri kalian, sesungguhnya Allah itu Maha Kasih Sayang kepada kalian.”
Menurut riwayah yang ditakhrij Abu Daud, Amr bin al-Ash pernah berdalil dengan ayat ini ketika ia berpendapat tidak wajib mandi junub dengan air yang sangat dingin karena takut membahayakan kehidupan. Peristiwa ini terjadi pada perang zat al-salasil. Alasan dengan alat ini ternyata ditaqrirkan oleh Rasulullah. Ketika beliau mendengar laporan tentang kejadian itu, beliau hanya tersenyum, sepatahkata pun tidak memberikan komentarnya.[6]
Contoh tafsir sosio-kultural lainnya, dapat dikemukakan pendapat Abduh tentang tafsir sosio-kultural ini tentang tayammu di surah Al-Nisa’ ayat 43:
يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَقْرَبُواْ الصَّلاَةَ وَأَنتُمْ سُكَارَى حَتَّىَ تَعْلَمُواْ مَا تَقُولُونَ وَلاَ جُنُباً إِلاَّ عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّىَ تَغْتَسِلُواْ وَإِن كُنتُم مَّرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاء أَحَدٌ مِّنكُم مِّن الْغَآئِطِ أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسَاء فَلَمْ تَجِدُواْ مَاء فَتَيَمَّمُواْ صَعِيداً طَيِّباً فَامْسَحُواْ بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللّهَ كَانَ عَفُوّاً غَفُوراً
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu hampiri sembahyang (mengerjakannya) sedang kamu dalam keadaan mabuk, hingga kamu sedar dan mengetahui akan apa yang kamu katakan. Dan janganlah pula (hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan Junub (berhadas besar)—kecuali kamu hendak melintas sahaja—hingga kamu mandi bersuci. Dan jika kamu sakit, atau sedang dalam musafir, atau salah seorang diantara kamu datang dari tempat buang air, atau kamu bersentuh dengan perempuan kemudian kamu tidak mendapat air (untuk mandi atau berwuduk), maka hendaklah kamu bertayammum dengan tanah - debu, yang suci, iaitu sapukanlah ke muka kamu dan kedua tangan kamu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.”
Di sini Abduh berpendapat bahwa ayat ini sangat jelas artinya. Menurutnya ia menunjukkan bahwa seorang yang sakit atau dalam perjalanan sama artinya dengan seorang yang berhadas kecil atau seorang yang berhadas besar, yang tidak mendapatkan air. Ini berarti bahwa perintah, “…….maka bertayammumlah kamu..” bukan merupakan syarat bagi keadaan-keadaan yang telah disebutkan di atas, tetapi hanya berlaku bagi keadaan orang yang berhadas kecil atau seorang yang berhadas besar, yang tidak mendapatkan air.
Dalam hal ini memang wajar dipertanyakan, kalau semua orang yang sakit atau sehat, demikian pula musafir, tidak diperbolehkan bertayammum kecuali dalam hal ketiadaan air, maka apakah arti redaksi ayat ini yang secara tegas menyebutkan orang-orang yang sakit dan musafir itu?
Syaikh Muhammad Ali Al-Sais menulis dalam tafsirnya: “Seorang musafir biasanya tidak memiliki air, atau sangat membutuhkannya sehingga perlu disebutkan secara tegas seakan-akan ia tidak memiliki air. Adapun orang yang sakit, keadaan dan sifat penyakitnya itulah yeng merupakan penyebab diperbolehkannya bertayammum. Dengan demikian, ditegaskannya kedua kalimat itu di dalam ayat ini adalah untuk menggarisbawahi bahwa tidak semua orang diperbolehkan bertayammum kecuali jika memenuhi persyaratan-persyaratan tersetentu”.[7]

IV.       KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan yang penulis paparkan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tafsir al-adabi al-ijtima`i adalah  tafsir yang menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan langsung dengan masyarakat, serta usaha-usaha untuk menanggulangi penyakit-penyakit masyarakat atau masalah-masalah mereka berdasarkan petunjuk ayat-ayat, dengan mengemukakan petunjuk-petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah dimengerti.
Menurut penulis, corak tafsir al-adabi al-ijtima`i ini sangat dimungkinkan apabila untuk digunakan untuk menyelesaikan suatu permasalahan yang dihadapi masyarakat. Sebab, mufassir pada yang menafsirkan dengan menggunakan tafsir ini berusaha menafsirkan ayat–ayat al-Qur`an sesuai dengan perkembangan zaman yang telah modern. Selain itu, mufassir itu juga menafsirkan ayat dengan kata-kata yang mudah difahami masyarakat.
V.          PENUTUP
Demikianlah makalah tentang “Tafsir Sosio-Kultural” saya susun. Semoga pembahasan tentang tema kali ini bermanfaat bagi kita semua. Sudah barang tentu, makalah ini masih terdapat banyak kekurangan dan kesalahan, baik dalam segi penulisan maupun isinya. Maka dari itu, diperlukan kritik dan saran yang membangun agar dapat lebih baik dalam menyusun makalah selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Maraghi, Ahmad Musthofa. Tafsir al-Maraghi. Beirut: Dar al-Fikr, Juz III, cet-3. 1974
Shihab, M. Quraish. Membumikan al-Qur’an. Bandung: PT. Mizan Pustaka, ctk. I. 2007
________________. Studi Kritis Tafsir Al-Manar Karya Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha. Bandung: Pustaka Hidayah. 1994
Supiana. Ulumul Qur’an. Bandung: Pustaka Islamika. 2002
Suryadilaga, M. Alfatih, dkk. Metodologi Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Penerbit TERAS. 2005




[1] Supiana, Ulumul Qur’an, (Bandung: Pustaka Islamika, 2002), h. 316-317
[2] M. Alfatih Suryadilaga, dkk, Metodologi Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Penerbit TERAS, 2005), h. 89
[3] Quraish Syihab, Membumikan al-Qur’an, (Bandung: PT. Mizan Pustaka, ctk. I, 2007), h. 108
[4] Dr. M. Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar Karya Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994), h. 24-25
[5] Ahmad Musthofa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, (Dar al-Fikr, Juz III, cet-3, 1974), h. 207-208
[6] M. Alfatih Suryadilaga, dkk, Metodologi Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Penerbit TERAS, 2005), h. 89-90
[7] Dr. M. Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar Karya Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994), h. 28-29

Tidak ada komentar:

Posting Komentar