Makalah
Tafsir Sosio-Kultural
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Qawaid at-Tafsir
Dosen Pengampu:
Dr. Zuhad, M.Ag
Disusun Oleh:
Muhammad Ali Fuadi (124211064)
PRODI TAFSIR HADITS
FAKULTAS USHULUDDIN DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014
I.
PENDAHULUAN
Al-Qur’an merupakan firman
Allah yang disampaikan oleh malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad Saw dan
kemudian disampaikan kepada manusia secara mutawatir. Dalam Islam, al-Qur’an
dijadikan sebagai pedoman pertama dan yang paling utama dalam menjalankan
segala hal. Oleh karena al-Qur’an masih bersifat global, maka kemudian umat
Muslim juga menggunakan pedoman kedua, yaitu hadits nabi, yang merupakan
penjelas al-Qur’an.
Di atas sudah
dijelaskan bahwa al-Qur’an masih bersifat global, sudah tentu kemudian
membutuhkan penafsiran. Penafsiran yang dihasilkan di sini juga sangat berbeda
antara mufassir satu dengan mufassir yang lain. Sebab, banyak para mufassir
yang hidup bukan satu masa, akan tetapi mulai dari yang tergolong mufassir
klasik, pertengahan, modern, bahkan kontemporer sebagaimana saat ini. Kondisi
demikian menyebabkan perbedaan bentuk penafsiran, bahkan juga tergantung
kemahiran atau berdasarkan kecenderungan ilmu yang dimiliki mufassir itu
sendiri.
Memahami berbagai
bentuk penafsiran yang sangat beragam tentu sangat menarik, sehingga
memperbanyak ilmu kita, terutama dalam bidang tafsir. Al-Farmawy menjelaskan
terdapat beberapa metode penafsiran, di antaranya tahlili, ijmali, muqaran, dan
maudhu’i. Sedangkan bentuk penafsiran, yaitu al-riwayah dan al-ra’yi. Selain
itu, ada pula corak penafsiran, di antaranya fiqhi, sufi, falsafi, adabi
ijtima’i, ‘ilmi, dan masih banyak yang lainnya.
Dalam hal ini,
pemakalah akan fokus membahas penafsiran dengan corak tafsir adabi ijtima’i
atau yang biasa disebut dengan tafsir sosio-kultural.
II.
RUMUSAN
MASALAH
Berdasarkan pendahuluan makalah yang penulis sampaikan di atas,
maka masalah penting yang perlu dibahas dalam makalah ini adalah:
1.
Apa yang Dimaksud Dengan Tafsir
Sosio-Kultural?
2.
Bagaimana Penerapan Tafsir
Sosio-Kultural?
III.
PEMBAHASAN
1.
Pengertian
Tafsir Sosio-Kultural
Secara etimologis, tafsir sosio-kultural disebut juga dengan tafsir
adabi al-ijtima’i. Al-adabi al-ijtima’i berasal dari dua kata, yaitu adabi
yang berarti sopan santun, tata krama. Kata tersebut juga diartikan sebagai
norma-norma yang dijadikan sebagai pegangan atau pedoman bertingkah laku bagi seseorang
dalam kehidupannya. Sedangkan ijtima’i berarti banyak bergaul atau
berbaur dengan masyarakat. Jadi, tafsir ini merupakan bentuk tafsir yang
berorientasi pada sikap atau perilaku dan kemasyarakatan.[1]
Tafsir ini juga mengacu mengacu kepada pertimbangan fenomenologis.
Dengan begitu, maka untuk memahami al-Qur’an dengan baik harus memanfaatkan
konsep pengetahuan yang mapan. Penggunaan pengetahuan inilah disebut dengan
baik teknik interpretasi kultural. Kultural di sini ialah himpunan pengetahuan
yang dipergunakan manusia untuk menginterpretasikan pengalaman serta
menghasilkan perilaku sosial.[2]
Sedangkan secara terminologis, sebagaimana yang dijelaskan atau
dipaparkan oleh Dr. Muhammad Husain Adz-Dzahabi, tafsir al-adabi al-ijtima’i
merupakan tafsir yang menyingkapkan tentang makna balaghah, keindahan bahasa
al-Qur’an serta ketelitian redaksinya, mengaitkan kandungan ayat dengan
sunnatullah, dan biasanya juga dengan aturan hidup dalam masyarakat. Tafsir ini
digunakan untuk memecahkan problematika khusus umat Islam serta manusia pada
umumnya.
Tidak berbeda dengan penjelasan di atas, Syeikh Manna’ al-Qatthan
mendefinisikan tafsir adabi al-ijtima’i sebagai tafsir yang diperkaya
dengan riwayat salaf al-ummah dan dengan uraian tentang sunnatullah yang
berlaku di tengah masyarakat. Tafsir ini menguraikan gaya al-Qur’an dengan cara
menyingkapkan maknanya dengan ibarat-ibarat yang mudah serta berusaha menerangkan
masalah-masalah yang musykil dengan maksud untuk mengembalikan kehormatan Islam
serta mengobati penyakit yang ada dalam masyarakat sesuai petunjuk al-Qur’an.
Berdasarkan penjelasan di atas sudah jelas bahwa tafsir adabi
al-ijtima’i merupakan tafsir yang berbicara tentang petunjuk-petunjuk
al-Qur’an yang berkaitan langsung dengan masyarakat, serta usaha-usaha untuk
menanggulangi berbagai penyakit masyarakat atau permasalahan yang ada dalam
masyarakat berdasarkan petunjuk ayat al-Qur’an, dengan cara mengemukakan
petunjuk-petunjuk dalam bahasa yang mudah dipahami.[3]
Maka tidak mengherankan apabila Muhammad Abduh, pengarang tafsir
al-Manar mengatakan bahwa ajaran agama secara umum terbagi dalam dua bagian,
yaitu rinci dan umum. Yang rinci adalah sekumpulan ketetapan Allah dan Nabi-Nya
yang tidak dapat mengalami perubahan atau perkembangan, sedangkan yang umum
adalah prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah yang dapat berubah-ubah penjabaran dan
perinciannya sesuai dengan kondisi sosial.
Dari sini Abduh mengecam ulama-ulama pada masanya yang mengharuskan
masyarakat mereka mengikuti hasil pemahaman ulama-ulama terdahulu tanpa
memperhatikan perbedaan kondisi sosial. Hal ini, menurut Abduh, “mengakibatkan
kesukaran bagi masyarakat, bahkan mendorong mereka mengabaikan ajaran-ajaran
agama”.
Kaum muslimin telah menanggalkan agama mereka karena perhatian
selama ini hanya tertuju kepada redaksi ayat-ayat (nash), tanpa memperhatikan
ruh/jiwa ayat-ayat itu sendiri. Kata Abduh, itulah sebabnya mengapa ia
mengusulkan kepada para ulama “agar mereka menghimpun diri dalam satu kelompok
atau organisasi, yang di dalamnya mereka dapat mediskusikan soal-soal keagamaan
dan mencari ‘illat (motif) dari setiap ketetapan, sehingga suatu hukum yang
ditetapkan berdasarkan satu kondisi tertentu, hendaklah kondisi tersebut
dijelaskan. Bila kondisinya berubah, maka ketetapan itu juga dapat berubah.”
Dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an, teristimewa yang menyangkut ayat-ayat
hukum, landasan ini tidak pernah diabaikannya.
Melalui kedua hal tersebut di atas Abduh berusaha untuk mencapai
tujuannya, yakni menjelaskan hakikat ajaran Islam yang murni menurut
pandangannya serta menghubungkan ajaran tersebut dengan kehidupan masa kini.
Corak tafsirnya terhadap ayat-ayat al-Qur’an jelas diwarnai oleh
pandangan-pandangan tersebut.[4]
2.
Contoh
Penerapan Tafsir Sosio-Kultural
Contoh penerapan tafsir bentuk ini adalah sebagaimana yang terdapat
dalam surah al-An’am ayat 103 pada penafsiran dalam tafsir al-maraghi :
لَا تُدْرِكُهُ الْأَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ
الْأَبْصَارَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ
Artinya: “Mata
tidak dapat melihat dengan sesuatu pengamatan menyeluruh yang mampu mengetahui
jati diri (hakikat) Allah”
Ayat tersebut satu makna dengan al-Baqarah ayat 55:
وَإِذْ
قُلْتُمْ يَامُوسَى لَنْ نُؤْمِنَ لَكَ حَتَّى نَرَى اللهَ جَهْرَةً
فَأَخَذَتْكُمُ الصَّاعِقَةُ وَأَنْتُمْ تَنْظُرُونَ
Artinya: “Dia
mengetahui segala yang ada di hadapan dan di belakang mereka dan sebaliknya)
mereka sedikitpun tidak mengetahui secara menyeluruh tentang ilmu-Nya”
Menafikan betapa tidak dapat mencakupnya ilmu manusia tentang
Allah, bukan berarti manusia tidak memiliki ilmu tersebut sama sekali. Demikian
pula, menafikan ketidakmampuan mata melihat atau mengamati sesuatu secara
menyeluruh bukan berarti mata tersebut tidak dapat melihat sesuatu sama sekali.
Berdasar premis tersebut, maka dapat dipahami bahwa tidak terdapat kontradiktif
dengan hadits-hadits shohih yang menginformasikan tentang kemampuan seorang
mukmin untuk melihat Tuhannya di akherat kelak sebagaimana hadits: “Sesungguhnya
kalian akan melihat Tuhan pada hari kiamat sebagaimana kalian melihat bulan di
malam purnama, dan sebagaimana kalian melihat matahari yang tidak tertutup awan”
(HR.
Buchari).
Namun hal ini tidak bagi orang kafir yang terhijab sebagaimana
surah al-Muthaffifin
ayat 15:
كلا إنهم عن
ربهم يومئذ لمحجوبون
Artinya: “Sekali-kali
tidak demikian, sesungguhnya mereka (orang-orang kafir) pada hari itu terhijab
dari-Nya”.
Kalimat “wa huwa yudrikul abshoru” yang
berarti “Allah
Swt melihat mata yang sedang melihat” artinya bahwa dengan
pengamatan yang komprehensif maka tiada pengamatan Tuhan yang luput sedikit pun;
baik secara hakikat itu sendiri maupun pengetahuan tentangnya. Sebagaimana ahli
bedah mata yang mengetahui konstruksi anatomi mata dan setiap fungsi bagian
dari mata untuk mendeteksi benda dan cahaya, merupakan sunatullah cahaya yang
dipantulkan oleh benda tersebut dan masuk ke mata kita, sehingga terbentuk
bayangan benda tersebut dalam mata, namun belum mampu mengetahui hakikat
(substansi) dari penglihatan, kekuatan penglihatan dan jati diri cahaya itu
sendiri.
Sedang menurut lisan ‘Arab Abu Ishaq, dalam kalimat itu Allah telah
memberitahukan bahwa Dia mengetahui hakikat penglihatan. Tersirat bahwa manusia
yang tidak mampu melihat hakikat penglihatan, kenapa bisa melihat, maka dalam
hal ini Allah memberitahukan bahwa hakikat makhluk saja manusia tidak dapat
memahami, sehingga bagai mana mungkin dapat memahami hakikat Allah yang Maha
Lathif lagi maha Tahu.
Adapun hadits-hadits yang menginformasikan kemungkinan melihat
Allah pun tak dapat ditolak karena konotasi ayat merujuk kepada sesuatu yang
cangkupannya lebih luas dan menyeluruh. Sedang kalimat “wa
huwa lathiful Khobir” artinya bahwa substansi Allah itu Maha
Lathif/ Lembut sehingga tidak mampu mengamati hakikat-Nya. Allah Maha Tahu
tentang segala sesuatu sampai dengan partikel terkecilnya, namun Allah tidak
dapat diamati dengan mata. Inilah makna dari Allah mengetahui hakikat
penglihatan dan penglihatan (manusia) tak mampu mengamati-Nya.
Penafsiran al-Maraghi ini mudah difahami bila dibandingkan dengan
penafsiran mufassirin masa klasik. Hal itu disebabkan oleh pemilihan bahasa
yang sesuai dengan kondisi perkembangan umat modern yakni lugas dan tidak
berbelit. Ungkapan singkat, padat, lugas dan tidak berbelit ini disebut dengan
tafsir adabi
ijtima’i (tafsir sosial kemasyarakatan).
Meski tujuannya adalah mengurai sesuatu yang abstrak, namun dengan
menganalogikan dengan sesuatu berkembang di zaman-nya seperti pemahaman tentang
ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga maknanya dapat dengan mudah ditangkap
oleh pembaca/pendengarnya.
Sehingga dalam hal ini, tafsir al-Maraghi dikatakan sebagai tafsir
modern yang mengikuti penafsiran al-ra’y melalui metode analitis
sosial kemasyarakatan atau di sebut dengan penafsiran yang berangkat dari
pemikiran rasional obyektif dan argumentatif (al-ra’y) melalui metode (analitis)
dan mengacu pada suatu corak yakni sosial kemasyarakatan.[5]
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا
تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً
عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ
رَحِيمًا (29)
Artinya: “Wahai
orang-orang yang beriman, janagnlah kalian memakan harta-harta kalian di antara
kalian dengan cara yang batil, kecuali dengan perdagangan
yang kalian saling ridha. Dan janganlah kalian membunuh diri-diri kalian,
sesungguhnya Allah itu Maha Kasih Sayang kepada kalian.”
Menurut riwayah yang ditakhrij Abu Daud, Amr bin al-Ash pernah
berdalil dengan ayat ini ketika ia berpendapat tidak wajib mandi junub dengan
air yang sangat dingin karena takut membahayakan kehidupan. Peristiwa ini
terjadi pada perang zat al-salasil. Alasan dengan alat ini ternyata ditaqrirkan
oleh Rasulullah. Ketika beliau mendengar laporan tentang kejadian itu, beliau
hanya tersenyum, sepatahkata pun tidak memberikan komentarnya.[6]
Contoh tafsir sosio-kultural lainnya, dapat dikemukakan pendapat
Abduh tentang tafsir sosio-kultural ini tentang tayammu di surah Al-Nisa’ ayat
43:
يا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَقْرَبُواْ الصَّلاَةَ وَأَنتُمْ سُكَارَى حَتَّىَ
تَعْلَمُواْ مَا تَقُولُونَ وَلاَ جُنُباً إِلاَّ عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّىَ
تَغْتَسِلُواْ وَإِن كُنتُم مَّرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاء أَحَدٌ مِّنكُم
مِّن الْغَآئِطِ أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسَاء فَلَمْ تَجِدُواْ مَاء فَتَيَمَّمُواْ
صَعِيداً طَيِّباً فَامْسَحُواْ بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللّهَ كَانَ
عَفُوّاً غَفُوراً
Artinya: “Wahai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu hampiri sembahyang (mengerjakannya)
sedang kamu dalam keadaan mabuk, hingga kamu sedar dan mengetahui akan apa yang
kamu katakan. Dan janganlah pula (hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan
Junub (berhadas besar)—kecuali kamu hendak melintas sahaja—hingga kamu mandi
bersuci. Dan jika kamu sakit, atau sedang dalam musafir, atau salah seorang
diantara kamu datang dari tempat buang air, atau kamu bersentuh dengan
perempuan kemudian kamu tidak mendapat air (untuk mandi atau berwuduk), maka
hendaklah kamu bertayammum dengan tanah - debu, yang suci, iaitu sapukanlah ke
muka kamu dan kedua tangan kamu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha
Pengampun.”
Di sini Abduh berpendapat bahwa ayat ini sangat jelas artinya. Menurutnya
ia menunjukkan bahwa seorang yang sakit atau dalam perjalanan sama artinya
dengan seorang yang berhadas kecil atau seorang yang berhadas besar, yang tidak
mendapatkan air. Ini berarti bahwa perintah, “…….maka bertayammumlah kamu..”
bukan merupakan syarat bagi keadaan-keadaan yang telah disebutkan di atas,
tetapi hanya berlaku bagi keadaan orang yang berhadas kecil atau seorang yang
berhadas besar, yang tidak mendapatkan air.
Dalam hal ini memang wajar dipertanyakan, kalau semua orang yang
sakit atau sehat, demikian pula musafir, tidak diperbolehkan bertayammum
kecuali dalam hal ketiadaan air, maka apakah arti redaksi ayat ini yang secara
tegas menyebutkan orang-orang yang sakit dan musafir itu?
Syaikh Muhammad Ali Al-Sais menulis dalam tafsirnya: “Seorang
musafir biasanya tidak memiliki air, atau sangat membutuhkannya sehingga perlu
disebutkan secara tegas seakan-akan ia tidak memiliki air. Adapun orang yang
sakit, keadaan dan sifat penyakitnya itulah yeng merupakan penyebab
diperbolehkannya bertayammum. Dengan demikian, ditegaskannya kedua kalimat itu
di dalam ayat ini adalah untuk menggarisbawahi bahwa tidak semua orang
diperbolehkan bertayammum kecuali jika memenuhi persyaratan-persyaratan
tersetentu”.[7]
IV.
KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan yang penulis paparkan di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa tafsir al-adabi al-ijtima`i
adalah tafsir yang menjelaskan petunjuk-petunjuk
ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan langsung dengan masyarakat, serta
usaha-usaha untuk menanggulangi penyakit-penyakit masyarakat atau
masalah-masalah mereka berdasarkan petunjuk ayat-ayat, dengan mengemukakan
petunjuk-petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah dimengerti.
Menurut penulis, corak tafsir al-adabi al-ijtima`i
ini sangat dimungkinkan apabila untuk digunakan untuk menyelesaikan suatu
permasalahan yang dihadapi masyarakat. Sebab, mufassir pada yang menafsirkan
dengan menggunakan tafsir ini berusaha menafsirkan ayat–ayat al-Qur`an sesuai
dengan perkembangan zaman yang telah modern. Selain itu, mufassir itu juga
menafsirkan ayat dengan kata-kata yang mudah difahami masyarakat.
V.
PENUTUP
Demikianlah makalah tentang “Tafsir Sosio-Kultural” saya
susun. Semoga pembahasan tentang tema kali ini bermanfaat bagi kita semua.
Sudah barang tentu, makalah ini masih terdapat banyak kekurangan dan kesalahan,
baik dalam segi penulisan maupun isinya. Maka dari itu, diperlukan kritik dan
saran yang membangun agar dapat lebih baik dalam menyusun makalah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Maraghi, Ahmad
Musthofa. Tafsir al-Maraghi. Beirut: Dar al-Fikr, Juz III, cet-3. 1974
Shihab, M. Quraish. Membumikan
al-Qur’an. Bandung: PT. Mizan Pustaka, ctk. I. 2007
________________.
Studi Kritis Tafsir Al-Manar Karya Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha.
Bandung: Pustaka Hidayah. 1994
Supiana. Ulumul Qur’an. Bandung: Pustaka Islamika. 2002
Suryadilaga, M.
Alfatih, dkk. Metodologi Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Penerbit TERAS. 2005
[4] Dr. M. Quraish Shihab, Studi
Kritis Tafsir Al-Manar Karya Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha,
(Bandung: Pustaka Hidayah, 1994), h. 24-25
[6] M. Alfatih Suryadilaga, dkk, Metodologi Ilmu Tafsir,
(Yogyakarta: Penerbit TERAS, 2005), h. 89-90
[7] Dr. M. Quraish Shihab, Studi
Kritis Tafsir Al-Manar Karya Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha,
(Bandung: Pustaka Hidayah, 1994), h. 28-29
Tidak ada komentar:
Posting Komentar