Suara Pena Pemuda

Menuju Cakrawala Perubahan

Kamis, 10 Maret 2016

FIQIH MUNAKAHAT DALAM PERSPEKTIF EMPAT MADZHAB

Makalah
Fiqih Munakahat Dalam Perspektif Empat Madzhab
Disusun  guna memenuhi tugas
Mata Kuliah: “Fiqih
Dosen Pengampu: H. Fakhruddin Aziz, Lc,. PgD,. M.Si.

Disusun Oleh:
Muhammad Ali Fuadi (124211064)

Prodi Tafsir Hadits
Fakultas Ushuluddin dan Humaniora
Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang
2013


BAB I
PENDAHULUAN
A.        Latar Belakang
Setiap agama yang diturunkan Allah kepada rasul-rasulnya, bertujuan untuk memberikan pimpinan bagi umat manusia dalam usaha memberi nilai kehidupannya, begitu juga dengan Agama Islam (Agama Paripurna). Karena dasar jiwa manusia itu berakal dan berfikir, maka tentu harus melakukan amalan-amalan atau perintah yang diberikan oleh Allah SWT yang dimuat dalam masing-masing agama tersebut.
Dalam Agama Islam, terdapat beberapa varian ilmu pengetahuan yang dijadikan sebagai pedoman hidup manusia, salah satunya adalah fiqih. Fiqih merupakan produk ijtihad yang di dalamnya mengaitkan antara berbagi dalil-dalil syari’ah dengan realitas yang ada. Dalam fiqih sendiri juga banyak pembahasan di dalamnya, diantaranya membahas tentang thaharah (bersuci), shalat, zakat, perkawinan (nikah), waris, dan lain sebagainya.
Pembahasan-pembahasan tersebut sangat penting bagi kehidupan manusia. Misalnya saja membahas tentang perkawinan, ketika seseorang melakukan perkawinan, banyak hal-hal yang harus diperhatikan untuk menjadikan perkawinan tersebut benar-benar sah, begitu pun nantinya ketika menjalani kehidupan selanjutnya. Kedua pasangan harus sangat berhati-hati agar perkawinan yang dijalani justru tak menjadi bumerang bagi keduanya, agar selalu menjaga tali perkawinannya.
Hal inilah yang melatar belakangi pemakalah untuk membuat makalah berjudul “Fiqih Munakahat dalam Perspektif Empat Madzhab”. Melihat pentingnya pengetahuan tentang hal-hal yang menyangkut pernikahan, sangat perlu membahasnya. Sebab, semua umat manusia tentu akan melaksanakan ajaran sunnah rasulullah tersebut, yaitu menikah.

B.        Pokok Permasalahan
1. Wilayah Kajian Imam Madzhab
2. Contoh Hasil Ijtihad Empat Madzhab
3. Munaqasah dan Tarjih
4. Fenomena Kontemporer



BAB II
PEMBAHASAN
A.Wilayah Kajian Fiqih Munakahat
1. Pengertian Nikah
Nikah atau ziwaj dalam bahasa Arab diartikan dengan kawin. Kalimat nikah atau ziwaj diartikan dengan perkawinan. Abdurrahman Al-Jarizi dalam kitabnya Al-Fiqh ‘Ala Madzahibil Arba’ah menyebutkan ada tiga macam makna nikah.  Pertama, menurut bahasa nikah adalah:
وَهُوَ اْلوَطْءُ وَالضَّمُّ
Bersenggama atau campur"
Kedua, makna Ushuli atau makna menurut syar’i, yaitu nikah arti hakikatnya adalah watha’ (bersenggama), akad, musytarak atau gabungan dari pengertian akad dan watha’.
Dan yang ketiga, menurut para ahli fiqih.
Menurut golongan Hanafiah, nikah  adalah :
النكاح بانه عقد يفيد ملك المتعة قصدا
“Nikah itu adalah akad yang memfaidahkan memiliki, bersenang-senang dengan sengaja”

Menurut golongan Asy-Syafi’iyah mendefinisikan nikah sebagai:

النكاح بانه عقد يتضمن ملك الوطء بلفظ انكاح او تزويج او معنهما
“Nikah adalah akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan watha’ dengan lafadz nikah atau tazwij atau yang satu makna dengan keduanya”

Menurut Malikiyah:

النكاح بانه عقد على مجرد متعه التلذذ بادمية غير موجب قيمتها ببينة
“Nikah adalah akad yang mengandung ketentuan hukum semata-mata untuk memperbolehkan watha’, bersenang-senang dan menikmati apa yang ada pada diri seorang wanita yang dinikahinya”

Sedangkan menurut golongan Hanbaliyah, mendefinisikan bahwa:
هو عقد بلفظ انكاح او تزويج على منفعة الاستماع
”Nikah adalah akad dengan mempergunakan lafadz nikah atau tazwij guna memperbolehkan manfaat, bersenang-senang dengan wanita[1]

Dari pengertian-pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa para ulama masih memandang nikah hanya dari satu segi saja, yaitu kebolehan hukum antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang semula dilarang berhubungan. Secara keseluruhan pula, mereka berpendapat bahwa nikah merupakan akad yang ditetapkan oleh syara’ bahwa seseorang suami dapat memanfaatkan dan bersenang-senang dengan kehormatan seorang istri dan seluruh tubuhnya. Mereka tak memperhatikan tujuan dari menikah yang sesungguhnya, bahwa di dalam pernikahan terdapat pengaruh hak dan kewajiban yang harus dimiliki suami istri.
Para ulama mutaakhirin mendefinisikan nikah mengandung aspek akibat hukum yaitu termasuk unsur hak dan kewajiban suami istri, serta bertujuan mengadakan pergaulan yang dilandasi tolong-menolong. Oleh karena perkawinan termasuk ke dalam syariat agama, maka di dalamnya terkandung maksud dan tujuan, yaitu mengharapkan Ridha Allah SWT.[2]

2. Akad Nikah dan Syarat–Syaratnya
Para ulama imam madzhab bersepakat bahwa nikah dikatakan sah apabila dilakukan dengan akad, yang mencakup ijab kabul antara wanita yang dilamar dengan laki-laki yang melamarnya, atau antara pihak yang menggantikannya seperti wakil dan wali, dan dianggap tidak sah hanya semata-mata berdasarkan suka sama suka tanpa adanya akad. Dalam suatu pernikahan harus ada dua mempelai, ada wali, ada saksi, dan juga ijab kabul. Seorang wali dan saksi pun harus mempunyai syarat yang harus dipenuhi. Adapun syarat-syaratnya adalah beragamaIslam, baligh, berakal, dan seorang laki-laki. Para ulama madzhab bersepakat bahwa pernikahan harus ada akad, yang mencakup ijab dan qabul antara kedua mempelai.
Para ulama madzhab juga bersepakat bahwa nikah itu sah apabila dilakukan dengan redaksi  زَوَّجْتُ(aku mengawinkan) atau اَنْكَحْتُ (aku menikahakan) dari pihak yang dilamar dan redaksi  قَبِلْت  (saya terima) atau رَضِيْتُ (saya ridho) dari pihak yang melamar atau yang mewakilinya.
Mazhab Hanafi berpendapat bahwa akad boleh dilakukan dengan segala redaksi yang menunjukkan maksud menikah, bahkan sekalipun dengan lafal al-tamlik (pemilikan), al-hibbah (penyerahan), al-ihlal (penghalalan), al-ibahah (pembolehan) sepanjang akad tersebut disertai dengan qarinah (kaitan ) yang menunjukkan arti nikah.
Madzhab Maliki dan Hambali berpendapat bahwa akad nikah dianggap sah jika menggunakan lafal al-nikah dan al-zawaj serta lafal-lafal bentukannya. Sementara itu, Madzhab Syafi’i berpendapat bahwa redaksi akad harus merupakan kata bentukan dari lafal al-tazwij dan nikah saja, dan selainnya tidak sah.
Dalam hal persaksian akad nikah, Imam Syafi’i, Hanafi dan Hambali sepakat bahwa perkawinan itu tidak sah tanpa adanya saksi, tetapi Imam Hanafi memandang cukup dengan hadirnya dua orang laki-laki, atau seorang laki-laki dengan dua orang perempuan. Namun, mereka berpendapat bahwa kesaksian seorang wanita saja tanpa hadirnya seorang laki-laki dinyatakan tidak sah.
Imam Syafi’i dan Hambali berpendapat bahwa perkawinan harus dengan dua saksi laki-laki muslim. Sedangkan Imam Maliki mengatakan bahwa saksi hukumnya tidak wajib dalam akad tetapi wajib untuk percampuran suami terhadap istrinya (dukhul).
Sementara itu, syarat kedua belah pihak yang melakukan akad nikah, menurut para ulama’ mazhab bersepakat bahwa berakal dan baligh merupakan syarat dalam perkawinan. Juga disyaratkan bahwa kedua mempelai mesti terlepas dari keadaan-keadaan yang membuat mereka dilarang kawin, baik hubungan keluarga maupun hubungan yang lainnya.[3]

3. Hukum Pernikahan Dalam Islam
Para ulama ketika membahas hukum pernikahan, menemukan bahwa ternyata menikah itu terkadang bisa mejadi sunnah (mandub), terkadang bisa menjadi wajib atau terkadang juga bisa menjadi sekedar mubah saja. Bahkan dalam kondisi tertentu bisa menjadi makruh. Dan ada juga hukum pernikahan yang haram untuk dilakukan. Semua akan sangat tergantung dari kondisi dan situasi seseorang dan permasalahannya. Apa dan bagaimana hal itu bisa terjadi, mari kita bedah satu persatu.
1. Pernikahan Yang Wajib
Menikah itu wajib hukumnya bagi seorang yang sudah mampu secara finansial dan juga sangat beresiko jatuh ke dalam perzinaan. Hal itu disebabkan bahwa menjaga diri dari zina adalah wajib. Maka bila jalan keluarnya hanyalah dengan cara menikah, tentu saja menikah bagi seseorang yang hampir jatuh ke dalam jurang zina wajib hukumnya.
2. Pernikahan Yang Sunnah
Sedangkan yang tidak sampai diwajibkan untuk menikah adalah mereka yang sudah mampu namun masih tidak merasa takut jatuh kepada zina. Barangkali karena memang usianya yang masih muda atau pun lingkungannya yang cukup baik dan kondusif. Orang yang punya kondisi seperti ini hanyalah disunnahkan untuk menikah, namun tidak sampai wajib. Sebab masih ada jarak tertentu yang menghalanginya untuk bisa jatuh ke dalam zina yang diharamkan Allah SWT.
3. Pernikahan Yang Haram
Secara normal, ada dua hal utama yang membuat seseorang menjadi haram untuk menikah. Pertama, tidak mampu memberi nafkah. Kedua, tidak mampu melakukan hubungan seksual. Kecuali bila dia telah berterus terang sebelumnya dan calon istrinya itu mengetahui dan menerima keadaannya.
4. Pernikahan Yang Makruh
Orang yang tidak punya penghasilan sama sekali dan tidak sempurna kemampuan untuk berhubungan seksual, hukumnya makruh bila menikah. Namun bila calon istrinya rela dan punya harta yang bisa mencukupi hidup mereka, maka masih dibolehkan bagi mereka untuk menikah meski dengan karahiyah.
5. Pernikahan Yang Mubah
Orang yang berada pada posisi tengah-tengah antara hal-hal yang mendorong keharusannya untuk menikah dengan hal-hal yang mencegahnya untuk menikah, maka bagi hukum menikah itu menjadi mubah atau boleh. Tidak dianjurkan untuk segera menikah namun juga tidak ada larangan atau anjuran untuk mengakhirkannya. Pada kondisi tengah-tengah seperti ini, maka hukum nikah baginya adalah mubah.[4]

B. Contoh Hasil Ijtihad Empat Madzhab
Talak Sunni dan Talak Bid’i
Di dalam perkara ini, para ulama telah sepakat mengenai perkara-perkara berikut ini:
1.      Menjatuhkan satu talak terhadap istri yang telah sekamar dalam keadaan suci yang tidak disentuh (digauli) dalam keadaan sucinya itu, dan selama dalam masa iddahnya tidak diikutkan dengan talak kedua adalah sunni.
2.      Menjatuhkan talak terhadap istri dalam keadaan haid atau nifas ataupun dalam keadaan suci yang sudah digaulinya pada keadaan sucinya itu adalah bid’I apabila istri itu tiak hamil.
3.      Menjatuhkan talak terhadap istri yang belum sekamar bukan merupakan talak sunni dan talak bid’I ditinjau dari segi waktu, namun dalam riwayat dari Zufar disebutkan bahwa jika jatuh talak itu dalam keadaan haid juga bid’I sebagaimana pula wanita yang telah sekamar.
Adapun yang menjadi perbedaan pendapat di antara mereka talak yang dilihat dari segi bilangan, apakah termasuk talak sunni ataukah talak bid’i?
Ulama Syafi’iyyah berpendapat,”Tidak ada bid’ah mengumpulkan talak dan tidak ada sunnah memisah-misahkan, baik si istri itu telah sekamar maupun belum, hal tersebut sama saja.”
Ibnu Rusyd menukilkan dari Imam Asy-Syafi’I bahwa talak tiga dengan satu lafadz adalah talak sunni, sedangkan Ulama Hanafiyyahdan ulama Hanabilah berpendapat, menjatuhkan tiga talak atau dua talak secara sekaligus maupun terpisah-pisah dalam masa satu suci adalah bid’I, baik telah sekamar maupun belum.
Akan tetapi, dalam hal talak tiga ulama Hanabilah mengemukakan dua riwayat:
1.      Talak bid’I, dipilih oleh Al-Khargi.
2.      Talak bid’I, dipilih oleh Abu Bakar dan Abu Hafash.
Adapun mengenai talak dua secara sekaligus atau terpisah-pisah dalam masa suci termasuk sunni bila istri telah sekamar. Namun, bila belum sekamar, hal itu bukan termasuk sunni maupun bid’i, baik ditinjau dari segi waktu maupun bilangan.[5]

C. Munaqosyah dan Tarjih
Ulama Hanafiyyah berpendapat bahwa talak yang dilakukan mungkin saja sunni dan mungkin juga bid’I dilihat dari segi waktu dan bilangan dengan syarat istri telah sekamar. Adapun dan mengenai istri yang elum sekamar, hal ini dilihat dari segi bilangan talak saja, sedangkan bila ditinjau dari segi waktu, tidak ada sunni dan tidak bid’i.
Ulama Syafi’iyyah berpendapat, tidak ada sunni dan tidak ada bid’I sekali mengenai bilangan talak. Adapun dari segi waktu mereka berpendapat bahwa terhadap istri yang masih dibawah umur, istri yang tidak haid lagi (menopause), dan istri yang sedang hamil, istri yang belum sekamar, dan istri yang minta khulu’, maka talak yang dijatuhkan dua hakam, baik dari pihak suami maupun dari pihak istri yang dijatuhkan hakim terhadap maula atas permintaannya sendiri, dan talak terhadap mutahsyyirah, dalam hal itu tidak ada sunni  dan mungkin pula bid’i.
Ulama Hanabilah berpendapat bahwa menalak istri yang sudah tidak haid lagi (menopause), istri dibawah umur, dan istri dalam keadaan hamil, dan istri yang belum dicampurinya, hal itu tidak disifatkan dengan sunni atau bid’I bila ditinjau dari segi waktu, sedangkan dalam hal bilangan, mungkin sunni dan mungkin pula bid’i.
Demikianlah pendapat para ulama mujtahid mengenai talak sunni (berdasarkan sunnah) dan talak bid’I  (tidak berdasarkan sunnah).[6]

D. Fenomena Kontemporer
1. Perkawinan Antarpemeluk Agama yang Berbeda
Agama Islam menggunakan al-Qur’an dsan Hadits sebagai pedoman hidup. Berbicara tentang perkawinan pun tentu yang dijadikan pedoman tentu merujuk pada keduanya. Sebab, di dalamnya juga dibahas tentang perkawinan. Al-Qur’an telah jelas menerangkan bahwa perkawinan dengan orang musyrik dilarang, dalam Firman-Nya:
وَلَا تَنْكِحُوا اْلمُشْرِكَتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ
Dan Janganlah kamu menikahi anita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. (Al-Baqarah: 221)
Laranmgan serupa juga ditujukan kepada wali agar tidak menikahkan anak perempuan-perempuan yang berada dalam perwliannya dengan seorang laki-laki musyrik.
وَلَا تُنْكِحُوا اْلُمشْرِكِيْنَ حَتَّى يُؤْمِنُوْا
Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. (QS Al-Baqarah: 221).
Menurut sementara ulama meskipun ada ayat yang membolehkan perkawinan laki-laki muslim dengan wanita Ahl-Kitab (penganut agama Yahudi dan Kristen). Yaitu surat Al-Maidah ayat 5, yang menyatakan:
 وَاْلمُحْصَنَتُ مِنَ اْلمُؤْمِنَتُ وَاْلمُحْصَنَتُ مِنَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا اْلكِتَابَ
Dan (Dihalalkan pula) bagi kamu (mengawini) wanita-wanita terhormat di antara wanita-wanita yang beriman, dan wanita-wanita yang terhormat di antara orang-orang yang dianugerahi kitab (suci).
Tetapi izin tersebut telah digugurkan oleh surat al-Baqarah ayat 221 di atas.
Larangan mengawinkan perempuan muslimah dengan laki-laki termasuk Ahl–Kitab diisyaratkan oleh Al-Baqarah. Isyarat ini dipahami dari redaksi surat Al-Baqarah 221 di atas, yang hanya berbicara tentang bolehnya perkawinan pria muslim dengan wanita Ahl-Kitab, dan sedikit pun tidak menyinggung sebaliknya. Sehingga, seandainya pernikahan macam itu dibolehkan, maka pasti ayat tersebut akan menegaskannya.
Larangan perkawinan antarpemeluk agama yang berbeda itu agakanya dilatarbelakangi oleh harapan akan lahirnya sakinah dalam keluarganya. Perkawinan baru akan langgeng dan tentram apabila terdapat kesesuainan pandangan hidup antarsuami dan istri, karena jangankan berbeda agama, perbedaan budaya, atau bahkan perbedaan tingkat pendidikan antara perkawinan. Memang ayat itu membolehkan perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita Ahl-Kitab, tetapi kebolehan itu bukan saja sebagian jalan keluar dari kebutuhan mendesak ketika itu, tetapi juga karena seorang muslim mengakui bahwa Isa AS adalah nabi Allah pembawa ajaran agama. Sehingga, pria yang biasanya lebih kuat dari perempauan—jika beragama islam—dapat mentoleransi dan mempersilakan Ahl-Kitab menganut dan melaksanakan syariat agama.
لَكُمْ دِيْنُكُمْ وَلِىَ دِيْنِ
Bagi kamu agamamu dan bagiku agamaku. (QS. Al-Kafirun: 6)
Ini berbeda dengan Ahl-Kitab yang tidak mengakui Muhammad SAW sebagai nabi.
Di sisi lain harus pula dicatat bahwa para ulama yang membolehkan perkawinan laki-laki muslim dengan Ahl-Kitab, juga berbeda pendapat tentang pendapat makna Ahl-Kitab dalam ayat ini, serta keberlakuan hukum tersebut hingga kini.[7]







BAB III
PENUTUP
A.        Kesimpulan
Nikah atau ziwaj dalam bahasa Arab diartikan dengan kawin. Kalimat nikah atau ziwaj diartikan dengan perkawinan. Para ulama masih memandang nikah hanya dari satu segi saja, yaitu kebolehan hukum antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang semula dilarang berhubungan. Secara keseluruhan pula, mereka berpendapat bahwa nikah merupakan akad yang ditetapkan oleh syara’ bahwa seseorang suami dapat memanfaatkan dan bersenang-senang dengan kehormatan seorang istri dan seluruh tubuhnya. Mereka tak memperhatikan tujuan dari menikah yang sesungguhnya, bahwa di dalam pernikahan terdapat pengaruh hak dan kewajiban yang harus dimiliki suami istri.
Para ulama mutaakhirin mendefinisikan nikah mengandung aspek akibat hukum yaitu termasuk unsur hak dan kewajiban suami istri, serta bertujuan mengadakan pergaulan yang dilandasi tolong-menolong. Oleh karena perkawinan termasuk ke dalam syariat agama, maka di dalamnya terkandung maksud dan tujuan, yaitu mengharapkan Ridha Allah SWT.
Hukum perkawinan dalam Islam ada lima, diantaranya adalah:
1.      Pernikahan yang wajib
2.      Pernikahan yang Sunnah
3.      Pernikahan yang Haram
4.      Pernikahan yang Makruh
5.      Pernikahan yang Mubah

B.        Saran
Demikianlah makalah tentang “Fiqih Munakahat dalam Perspektif Empat Madzhab” kami susun. Semoga pembahasan tentang tema kali ini bermanfaat bagi kita semua. Tentunya dalam makalah ini masih terdapat banyak kekurangan dan kesalahan, baik dalam segi penulisan maupun isinya. Maka dari itu, diperlukan kritik dan saran yang membangun agar dapat lebih baik dalam menyusun makalah selanjutnya.



DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Hariri. Fiqh ‘Ala Madzahib al-Arba’ah. Beirut Libanon: Ihya al-Turat al-A’rabi. 1969.
Jawad Mughniyah, Muhammad. Fiqih Lima Madzhab. Jakarta: Basriepress. 1994.
Nur, Drs. H. Djamaan. Fiqih Munakahat. Semarang: Penerbit Dina Utama Semarang (DIMAS). 1993.
Sarwat, H. Ahmad. Fiqih Nikah.
Syalthut, Prof. Dr. Mahmud dan M. Ali As-Sayis. Fiqih Tujuh Madzhab. Bandung: Pustaka Setia. 2007.
Syihab, M. Quraish. Wawasan Al-Qur’an; Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: PT Mizan Pustaka. 2006.





[1] Hariri Abdurrahman . Fiqh ‘Ala Madzahib al-Arba’ah. (Beirut Libanon: Ihya al-Turat al-‘Arabi. 1969) hal 3-4
[2] Drs. H. Djamaan Nur. Fiqih Munakahat. Semarang: Penerbit Dina Utama Semarang (DIMAS). 1993. Hal 3-4

[3] Muhammad Jawad Mughniyah. Fiqih Lima Madzhab. (Jakarta: Basriepress. 1994). Hal 13-20
[4] H. Ahmad Sarwat, Lc. Fiqih Nikah. Hal 16-21

[5] Prof. Dr. Mahmud Syalthut dan M. Ali As-Sayis. Fiqih Tujuh Madzhab. Bandung: Pustaka Setia. 2007. Hal 148-149

[6] Prof. Dr. Mahmud Syalthut dan M. Ali As-Sayis. Fiqih Tujuh Madzhab. Bandung: Pustaka Setia. 2007. Hal 150-151

[7] M. Quraish Syihab. Wawasan Al-Qur’an; Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: PT Mizan Pustaka. 2006. Hal 195-198

Tidak ada komentar:

Posting Komentar