Makalah
Fiqih Munakahat Dalam Perspektif
Empat Madzhab
Disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah: “Fiqih”
Dosen Pengampu: H. Fakhruddin Aziz, Lc,. PgD,. M.Si.
Disusun Oleh:
Muhammad Ali Fuadi (124211064)
Prodi Tafsir Hadits
Fakultas Ushuluddin dan Humaniora
Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap agama yang diturunkan Allah kepada rasul-rasulnya,
bertujuan untuk memberikan pimpinan bagi umat manusia dalam usaha memberi nilai
kehidupannya, begitu juga dengan Agama Islam (Agama Paripurna). Karena dasar
jiwa manusia itu berakal dan berfikir, maka tentu harus melakukan amalan-amalan
atau perintah yang diberikan oleh Allah SWT yang dimuat dalam masing-masing
agama tersebut.
Dalam Agama Islam, terdapat beberapa varian ilmu pengetahuan
yang dijadikan sebagai pedoman hidup manusia, salah satunya adalah fiqih. Fiqih
merupakan produk ijtihad yang di dalamnya mengaitkan antara berbagi dalil-dalil
syari’ah dengan realitas yang ada. Dalam fiqih sendiri juga banyak pembahasan
di dalamnya, diantaranya membahas tentang thaharah (bersuci), shalat, zakat,
perkawinan (nikah), waris, dan lain sebagainya.
Pembahasan-pembahasan tersebut sangat penting bagi kehidupan
manusia. Misalnya saja membahas tentang perkawinan, ketika seseorang melakukan
perkawinan, banyak hal-hal yang harus diperhatikan untuk menjadikan perkawinan
tersebut benar-benar sah, begitu pun nantinya ketika menjalani kehidupan
selanjutnya. Kedua pasangan harus sangat berhati-hati agar perkawinan yang
dijalani justru tak menjadi bumerang bagi keduanya, agar selalu menjaga tali
perkawinannya.
Hal inilah yang melatar belakangi pemakalah untuk membuat
makalah berjudul “Fiqih Munakahat dalam Perspektif Empat Madzhab”. Melihat
pentingnya pengetahuan tentang hal-hal yang menyangkut pernikahan, sangat perlu
membahasnya. Sebab, semua umat manusia tentu akan melaksanakan ajaran sunnah
rasulullah tersebut, yaitu menikah.
B. Pokok Permasalahan
1. Wilayah Kajian Imam
Madzhab
2. Contoh Hasil Ijtihad Empat
Madzhab
3. Munaqasah dan Tarjih
4. Fenomena Kontemporer
BAB II
PEMBAHASAN
A.Wilayah Kajian Fiqih Munakahat
1. Pengertian Nikah
Nikah atau ziwaj dalam bahasa Arab diartikan dengan
kawin. Kalimat nikah atau ziwaj diartikan dengan perkawinan. Abdurrahman
Al-Jarizi dalam kitabnya Al-Fiqh ‘Ala Madzahibil Arba’ah menyebutkan ada tiga
macam makna nikah. Pertama, menurut bahasa nikah adalah:
وَهُوَ اْلوَطْءُ وَالضَّمُّ
“Bersenggama atau campur"
Kedua, makna Ushuli atau makna menurut syar’i, yaitu nikah
arti hakikatnya adalah watha’ (bersenggama), akad, musytarak atau gabungan dari
pengertian akad dan watha’.
Dan yang ketiga, menurut para ahli fiqih.
Menurut golongan Hanafiah, nikah
adalah :
النكاح بانه عقد يفيد ملك المتعة قصدا
“Nikah itu adalah akad yang memfaidahkan memiliki, bersenang-senang
dengan sengaja”
Menurut golongan Asy-Syafi’iyah mendefinisikan nikah
sebagai:
النكاح بانه عقد يتضمن ملك الوطء بلفظ انكاح او
تزويج او معنهما
“Nikah adalah akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan
watha’ dengan lafadz nikah atau tazwij atau yang satu makna dengan keduanya”
Menurut Malikiyah:
النكاح بانه عقد على مجرد متعه التلذذ بادمية غير
موجب قيمتها ببينة
“Nikah adalah akad yang mengandung ketentuan hukum
semata-mata untuk memperbolehkan watha’, bersenang-senang dan menikmati apa
yang ada pada diri seorang wanita yang dinikahinya”
Sedangkan menurut golongan Hanbaliyah, mendefinisikan bahwa:
هو عقد بلفظ انكاح او تزويج على منفعة الاستماع
”Nikah adalah akad dengan mempergunakan lafadz nikah atau
tazwij guna memperbolehkan manfaat, bersenang-senang dengan wanita”[1]
Dari pengertian-pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa
para ulama masih memandang nikah hanya dari satu segi saja, yaitu kebolehan
hukum antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang semula dilarang
berhubungan. Secara keseluruhan pula, mereka berpendapat bahwa nikah merupakan
akad yang ditetapkan oleh syara’ bahwa seseorang suami dapat memanfaatkan dan
bersenang-senang dengan kehormatan seorang istri dan seluruh tubuhnya. Mereka
tak memperhatikan tujuan dari menikah yang sesungguhnya, bahwa di dalam
pernikahan terdapat pengaruh hak dan kewajiban yang harus dimiliki suami istri.
Para ulama mutaakhirin mendefinisikan nikah mengandung aspek
akibat hukum yaitu termasuk unsur hak dan kewajiban suami istri, serta
bertujuan mengadakan pergaulan yang dilandasi tolong-menolong. Oleh karena
perkawinan termasuk ke dalam syariat agama, maka di dalamnya terkandung maksud
dan tujuan, yaitu mengharapkan Ridha Allah SWT.[2]
2. Akad Nikah dan Syarat–Syaratnya
Para ulama imam madzhab bersepakat bahwa nikah dikatakan sah
apabila dilakukan dengan akad, yang mencakup ijab kabul antara wanita yang
dilamar dengan laki-laki yang melamarnya, atau antara pihak yang
menggantikannya seperti wakil dan wali, dan dianggap tidak sah hanya
semata-mata berdasarkan suka sama suka tanpa adanya akad. Dalam suatu pernikahan
harus ada dua mempelai, ada wali, ada saksi, dan juga ijab kabul. Seorang wali dan saksi pun harus mempunyai syarat yang harus dipenuhi. Adapun syarat-syaratnya adalah beragamaIslam, baligh, berakal, dan seorang laki-laki. Para ulama madzhab bersepakat bahwa pernikahan harus ada akad, yang mencakup ijab dan qabul antara kedua mempelai.
Para ulama madzhab juga bersepakat bahwa nikah itu sah apabila dilakukan dengan redaksi زَوَّجْتُ(aku mengawinkan)
atau
اَنْكَحْتُ (aku menikahakan) dari pihak yang dilamar dan redaksi قَبِلْت (saya terima) atau رَضِيْتُ (saya ridho) dari pihak yang melamar atau yang mewakilinya.
Mazhab Hanafi berpendapat bahwa akad boleh dilakukan dengan segala redaksi yang menunjukkan maksud menikah, bahkan sekalipun dengan lafal al-tamlik (pemilikan), al-hibbah (penyerahan), al-ihlal (penghalalan), al-ibahah (pembolehan) sepanjang akad tersebut disertai dengan qarinah (kaitan ) yang menunjukkan arti nikah.
Madzhab Maliki dan Hambali berpendapat bahwa akad nikah dianggap sah jika menggunakan lafal al-nikah dan al-zawaj serta lafal-lafal bentukannya. Sementara itu, Madzhab Syafi’i berpendapat bahwa redaksi akad harus merupakan kata
bentukan dari lafal al-tazwij dan nikah saja, dan selainnya tidak sah.
Dalam hal persaksian akad nikah, Imam Syafi’i, Hanafi
dan Hambali sepakat bahwa perkawinan itu tidak sah tanpa adanya saksi, tetapi Imam
Hanafi memandang cukup dengan hadirnya dua orang laki-laki, atau seorang
laki-laki dengan dua orang perempuan. Namun, mereka berpendapat bahwa kesaksian seorang wanita saja tanpa hadirnya seorang laki-laki dinyatakan tidak sah.
Imam Syafi’i dan Hambali berpendapat bahwa perkawinan harus dengan dua saksi laki-laki muslim. Sedangkan Imam Maliki mengatakan bahwa saksi
hukumnya tidak wajib dalam akad tetapi wajib untuk percampuran suami terhadap istrinya
(dukhul).
Sementara itu, syarat
kedua belah pihak yang melakukan akad nikah, menurut para ulama’ mazhab bersepakat
bahwa berakal dan baligh merupakan syarat dalam perkawinan. Juga disyaratkan bahwa kedua mempelai mesti
terlepas dari keadaan-keadaan yang membuat mereka dilarang kawin, baik hubungan
keluarga maupun hubungan yang lainnya.[3]
3. Hukum Pernikahan Dalam Islam
Para ulama ketika membahas hukum pernikahan,
menemukan bahwa ternyata menikah itu terkadang bisa mejadi sunnah (mandub),
terkadang bisa menjadi wajib atau terkadang juga bisa menjadi sekedar mubah
saja. Bahkan dalam kondisi tertentu bisa menjadi makruh. Dan ada juga hukum
pernikahan yang haram untuk dilakukan. Semua akan sangat tergantung dari
kondisi dan situasi seseorang dan permasalahannya. Apa dan bagaimana hal itu
bisa terjadi, mari kita bedah satu persatu.
1. Pernikahan Yang Wajib
Menikah itu wajib hukumnya bagi seorang yang sudah
mampu secara finansial dan juga sangat beresiko jatuh ke dalam perzinaan. Hal
itu disebabkan bahwa menjaga diri dari zina adalah wajib. Maka bila jalan
keluarnya hanyalah dengan cara menikah, tentu saja menikah bagi seseorang yang
hampir jatuh ke dalam jurang zina wajib hukumnya.
2. Pernikahan Yang Sunnah
Sedangkan yang tidak sampai diwajibkan untuk
menikah adalah mereka yang sudah mampu namun masih tidak merasa takut jatuh
kepada zina. Barangkali karena memang usianya yang masih muda atau pun
lingkungannya yang cukup baik dan kondusif. Orang yang punya kondisi seperti ini hanyalah
disunnahkan untuk menikah, namun tidak sampai wajib. Sebab masih ada jarak
tertentu yang menghalanginya untuk bisa jatuh ke dalam zina yang diharamkan
Allah SWT.
3. Pernikahan Yang Haram
Secara normal, ada dua hal utama yang membuat
seseorang menjadi haram untuk menikah. Pertama, tidak mampu memberi nafkah.
Kedua, tidak mampu melakukan hubungan seksual. Kecuali bila dia telah berterus
terang sebelumnya dan calon istrinya itu mengetahui dan menerima keadaannya.
4. Pernikahan Yang Makruh
Orang yang tidak punya penghasilan sama sekali dan
tidak sempurna kemampuan untuk berhubungan seksual, hukumnya makruh bila
menikah. Namun bila calon istrinya rela dan punya harta yang bisa mencukupi
hidup mereka, maka masih dibolehkan bagi mereka untuk menikah meski dengan
karahiyah.
5. Pernikahan Yang Mubah
Orang yang berada pada posisi tengah-tengah antara
hal-hal yang mendorong keharusannya untuk menikah dengan hal-hal yang
mencegahnya untuk menikah, maka bagi hukum menikah itu menjadi mubah atau
boleh. Tidak dianjurkan untuk segera menikah namun juga tidak ada larangan atau
anjuran untuk mengakhirkannya. Pada kondisi tengah-tengah seperti ini, maka hukum
nikah baginya adalah mubah.[4]
B. Contoh Hasil Ijtihad Empat Madzhab
Talak
Sunni dan Talak Bid’i
Di dalam perkara ini, para ulama telah sepakat mengenai
perkara-perkara berikut ini:
1.
Menjatuhkan satu talak terhadap istri yang telah sekamar dalam
keadaan suci yang tidak disentuh (digauli) dalam keadaan sucinya itu, dan
selama dalam masa iddahnya tidak diikutkan dengan talak kedua adalah sunni.
2.
Menjatuhkan talak terhadap istri dalam keadaan haid atau nifas
ataupun dalam keadaan suci yang sudah digaulinya pada keadaan sucinya itu
adalah bid’I apabila istri itu tiak hamil.
3.
Menjatuhkan talak terhadap istri yang belum sekamar bukan merupakan
talak sunni dan talak bid’I ditinjau dari segi waktu, namun dalam riwayat dari
Zufar disebutkan bahwa jika jatuh talak itu dalam keadaan haid juga bid’I
sebagaimana pula wanita yang telah sekamar.
Adapun yang menjadi perbedaan pendapat di antara mereka talak yang
dilihat dari segi bilangan, apakah termasuk talak sunni ataukah talak bid’i?
Ulama Syafi’iyyah berpendapat,”Tidak ada bid’ah mengumpulkan talak
dan tidak ada sunnah memisah-misahkan, baik si istri itu telah sekamar maupun
belum, hal tersebut sama saja.”
Ibnu Rusyd menukilkan dari Imam Asy-Syafi’I bahwa talak tiga dengan
satu lafadz adalah talak sunni, sedangkan Ulama Hanafiyyahdan ulama Hanabilah
berpendapat, menjatuhkan tiga talak atau dua talak secara sekaligus maupun
terpisah-pisah dalam masa satu suci adalah bid’I, baik telah sekamar maupun
belum.
Akan tetapi, dalam hal talak tiga ulama Hanabilah mengemukakan dua
riwayat:
1.
Talak bid’I, dipilih oleh Al-Khargi.
2.
Talak bid’I, dipilih oleh Abu Bakar dan Abu Hafash.
Adapun mengenai talak dua secara sekaligus atau terpisah-pisah
dalam masa suci termasuk sunni bila istri telah sekamar. Namun, bila belum
sekamar, hal itu bukan termasuk sunni maupun bid’i,
baik ditinjau dari segi waktu maupun bilangan.[5]
C. Munaqosyah dan Tarjih
Ulama Hanafiyyah berpendapat bahwa talak yang dilakukan mungkin
saja sunni dan mungkin juga bid’I dilihat dari segi waktu dan bilangan dengan
syarat istri telah sekamar. Adapun dan mengenai istri yang elum sekamar, hal
ini dilihat dari segi bilangan talak saja, sedangkan bila ditinjau dari segi
waktu, tidak ada sunni dan tidak bid’i.
Ulama Syafi’iyyah berpendapat, tidak ada sunni dan tidak ada bid’I
sekali mengenai bilangan talak. Adapun dari segi waktu mereka berpendapat bahwa
terhadap istri yang masih dibawah umur, istri yang tidak haid lagi (menopause),
dan istri yang sedang hamil, istri yang belum sekamar, dan istri yang minta
khulu’, maka talak yang dijatuhkan dua hakam, baik dari pihak suami maupun dari
pihak istri yang dijatuhkan hakim terhadap maula atas permintaannya
sendiri, dan talak terhadap mutahsyyirah, dalam hal itu tidak ada
sunni dan mungkin pula bid’i.
Ulama Hanabilah berpendapat bahwa menalak istri yang sudah tidak
haid lagi (menopause), istri dibawah umur, dan istri dalam keadaan
hamil, dan istri yang belum dicampurinya, hal itu tidak disifatkan dengan sunni
atau bid’I bila ditinjau dari segi waktu, sedangkan dalam hal bilangan, mungkin
sunni dan mungkin pula bid’i.
Demikianlah pendapat para ulama mujtahid mengenai
talak sunni (berdasarkan sunnah) dan
talak bid’I (tidak berdasarkan sunnah).[6]
D. Fenomena Kontemporer
1. Perkawinan
Antarpemeluk Agama yang Berbeda
Agama Islam menggunakan al-Qur’an dsan Hadits sebagai pedoman
hidup. Berbicara tentang perkawinan pun tentu yang dijadikan pedoman tentu
merujuk pada keduanya. Sebab, di dalamnya juga dibahas tentang perkawinan.
Al-Qur’an telah jelas menerangkan bahwa perkawinan dengan orang musyrik dilarang,
dalam Firman-Nya:
وَلَا
تَنْكِحُوا اْلمُشْرِكَتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ
“Dan Janganlah kamu menikahi anita-wanita musyrik sebelum mereka
beriman”. (Al-Baqarah:
221)
Laranmgan serupa juga ditujukan kepada wali agar tidak menikahkan
anak perempuan-perempuan yang berada dalam perwliannya dengan seorang laki-laki
musyrik.
وَلَا
تُنْكِحُوا اْلُمشْرِكِيْنَ حَتَّى يُؤْمِنُوْا
“Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan
wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman”. (QS
Al-Baqarah: 221).
Menurut sementara ulama meskipun ada ayat yang membolehkan
perkawinan laki-laki muslim dengan wanita Ahl-Kitab
(penganut agama Yahudi dan
Kristen). Yaitu surat Al-Maidah ayat 5, yang menyatakan:
وَاْلمُحْصَنَتُ مِنَ اْلمُؤْمِنَتُ
وَاْلمُحْصَنَتُ مِنَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا اْلكِتَابَ
“Dan (Dihalalkan pula) bagi kamu (mengawini) wanita-wanita terhormat
di antara wanita-wanita yang beriman, dan wanita-wanita yang terhormat di antara orang-orang yang dianugerahi kitab (suci).”
Tetapi izin tersebut telah digugurkan oleh surat al-Baqarah ayat
221 di atas.
Larangan mengawinkan perempuan muslimah dengan laki-laki termasuk Ahl–Kitab
diisyaratkan oleh Al-Baqarah.
Isyarat ini dipahami dari redaksi surat Al-Baqarah
221 di atas, yang hanya berbicara tentang bolehnya perkawinan pria muslim
dengan wanita Ahl-Kitab, dan
sedikit pun tidak menyinggung sebaliknya. Sehingga, seandainya pernikahan macam
itu dibolehkan, maka pasti ayat tersebut akan menegaskannya.
Larangan perkawinan antarpemeluk agama yang berbeda itu agakanya
dilatarbelakangi
oleh harapan akan lahirnya sakinah dalam keluarganya. Perkawinan
baru akan langgeng dan tentram apabila terdapat kesesuainan pandangan hidup
antarsuami dan istri, karena jangankan berbeda agama, perbedaan budaya, atau
bahkan perbedaan tingkat pendidikan antara perkawinan. Memang ayat itu
membolehkan perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita Ahl-Kitab, tetapi
kebolehan itu bukan saja sebagian jalan keluar dari kebutuhan mendesak ketika
itu, tetapi juga karena seorang muslim mengakui bahwa Isa AS adalah nabi Allah
pembawa ajaran agama. Sehingga, pria yang
biasanya lebih kuat dari perempauan—jika beragama islam—dapat mentoleransi dan
mempersilakan Ahl-Kitab menganut
dan melaksanakan syariat agama.
لَكُمْ
دِيْنُكُمْ وَلِىَ دِيْنِ
“Bagi kamu agamamu dan bagiku agamaku”. (QS. Al-Kafirun: 6)
Ini berbeda dengan Ahl-Kitab
yang tidak mengakui Muhammad SAW sebagai nabi.
Di sisi lain harus pula dicatat bahwa para ulama yang membolehkan
perkawinan laki-laki muslim dengan Ahl-Kitab,
juga berbeda pendapat tentang pendapat makna Ahl-Kitab
dalam ayat ini, serta keberlakuan hukum tersebut hingga kini.[7]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Nikah atau ziwaj dalam bahasa Arab diartikan dengan
kawin. Kalimat nikah atau ziwaj diartikan dengan perkawinan. Para ulama masih memandang nikah hanya dari satu
segi saja, yaitu kebolehan hukum antara seorang laki-laki dengan seorang
perempuan yang semula dilarang berhubungan. Secara keseluruhan pula, mereka
berpendapat bahwa nikah merupakan akad yang ditetapkan oleh syara’ bahwa
seseorang suami dapat memanfaatkan dan bersenang-senang dengan kehormatan
seorang istri dan seluruh tubuhnya. Mereka tak memperhatikan tujuan dari
menikah yang sesungguhnya, bahwa di dalam pernikahan terdapat pengaruh hak dan
kewajiban yang harus dimiliki suami istri.
Para ulama mutaakhirin mendefinisikan nikah mengandung aspek
akibat hukum yaitu termasuk unsur hak dan kewajiban suami istri, serta
bertujuan mengadakan pergaulan yang dilandasi tolong-menolong. Oleh karena
perkawinan termasuk ke dalam syariat agama, maka di dalamnya terkandung maksud
dan tujuan, yaitu mengharapkan Ridha Allah SWT.
Hukum perkawinan dalam Islam ada
lima, diantaranya adalah:
1.
Pernikahan yang wajib
2.
Pernikahan yang Sunnah
3.
Pernikahan yang Haram
4.
Pernikahan yang Makruh
5.
Pernikahan yang Mubah
B. Saran
Demikianlah makalah tentang “Fiqih Munakahat dalam
Perspektif Empat Madzhab” kami susun. Semoga pembahasan tentang tema kali
ini bermanfaat bagi kita semua. Tentunya dalam makalah ini masih terdapat
banyak kekurangan dan kesalahan, baik dalam segi penulisan maupun isinya. Maka
dari itu, diperlukan kritik dan saran yang membangun agar dapat lebih baik
dalam menyusun makalah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Hariri. Fiqh ‘Ala Madzahib al-Arba’ah.
Beirut Libanon: Ihya al-Turat al-A’rabi. 1969.
Jawad Mughniyah, Muhammad. Fiqih
Lima Madzhab. Jakarta: Basriepress. 1994.
Nur, Drs. H. Djamaan. Fiqih Munakahat. Semarang:
Penerbit Dina Utama Semarang (DIMAS). 1993.
Sarwat, H. Ahmad. Fiqih Nikah.
Syalthut, Prof. Dr. Mahmud dan M. Ali As-Sayis. Fiqih
Tujuh Madzhab. Bandung: Pustaka Setia. 2007.
Syihab, M. Quraish. Wawasan Al-Qur’an; Tafsir Maudhu’i
Atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: PT Mizan Pustaka. 2006.
[1] Hariri Abdurrahman . Fiqh ‘Ala Madzahib al-Arba’ah. (Beirut Libanon: Ihya al-Turat al-‘Arabi. 1969) hal 3-4
[2] Drs. H.
Djamaan Nur. Fiqih Munakahat. Semarang: Penerbit
Dina Utama Semarang (DIMAS). 1993. Hal 3-4
[5] Prof. Dr. Mahmud Syalthut dan M. Ali As-Sayis. Fiqih
Tujuh Madzhab. Bandung: Pustaka Setia. 2007. Hal 148-149
[6] Prof. Dr. Mahmud Syalthut dan M. Ali As-Sayis. Fiqih
Tujuh Madzhab. Bandung: Pustaka Setia. 2007. Hal 150-151
[7] M. Quraish Syihab. Wawasan Al-Qur’an; Tafsir Maudhu’i Atas
Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: PT Mizan Pustaka. 2006. Hal 195-198
Tidak ada komentar:
Posting Komentar