Perdebatan
Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia tak akan pernah ada habisnya
dikupas kalangan Islam garis keras. Hal ini disebabkan oleh karena mereka
menganggap bahwa Pancasila bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung
dalam ajaran Islam. Dan yang lebih mengherankan, karena merasa Pancasila tidak
cocok, ada kelompok yang secara terang-terangan ingin menggusur nilai Pancasila,
kemudian menggantinya dengan ideologi lain, yakni dengan sistem khilafah.
Meskipun
demikian, karena dinamika yang sangat intensif dan waktu yang sangat
lama, hingga saat ini Pancasila justru semakin kokoh berperan sebagai
ideologi bangsa yang khas Indonesia. Pancasila sulit digusur karena fondasinya
sangat kuat, dan tiang-tiang penyangganya, yang tidak lain adalah seluruh
elemen bangsa dan kaum muslim kalangan moderat selalu menjaga dan melestarikan
Pancasila, baik dalam kehidupan pribadi maupun bermasyarakat.
Di samping
itu, pada era milenium ini, menurut Mohammad Nasih ilmuan politik UI, sudah
banyak akademisi, pengkaji dan peneliti di bidang sosial, ekonomi, budaya, dan
politik yang mulai tertarik untuk mengkaji masalah hubungan agama dan
nasionalisme. Kajian tersebut salah satu di antaranya adalah yang membahas dan
menjelaskan kecocokan Pancasila dan Islam di Negara Indonesia. Penelitian
terkait hal ini semakin diminati, disinyalir karena masih banyaknya kalangan
Islam garis keras yang kurang cocok dengan keberadaan Pancasila.
Piagam Madinah dan Keberagaman
Membahas
Pancasila, mengingatkan kita semua pada sejarah masa lampau saat Nabi Muhammad
menjadi pemimpin di Madinah, sebuah kota di Saudi Arabia yang awalnya bernama
Yatsrib. Praktik politik yang dilakukan Nabi sangat luar biasa, bahkan sangat
berpengaruh di Madinah. Nabi bisa mempersatukan ummat beragam yang ada di
Madinah—mulai dari Islam, Yahudi, Nasrani, bahkan juga Shabiin—dengan magis
berupa Piagam Madinah.
Piagam
Madinah merupakan sebuah perjanjian politik antara Nabi Muhammad, sebagai
pemimpin di Madinah dengan seluruh petinggi agama, suku-suku, serta kelompok-kelompok
penting yang ada di Madinah. Perjanjian tersebut berisi kesepakatan-kesepakatan
yang mengatur seluruh hajat hidup penduduk Madinah, baik terkait hak-hak maupun
kewajiban-kewajiban bagi seluruh kaum yang ada di dalamnya. Dan tujuan utamanya
adalah untuk menghentikan pertentangan sengit yang sering terjadi antara satu
suku dengan suku yang lain, karena perbedaan dan keberagaman yang ada.
Diketahi
bahwa pada masa-masa sebelum Nabi, perbedaan yang ada negara Arab sering kali
membawa konflik dan permusuhan yang tak berkesudahan, sehingga mengakibatkan
kehancuran sebuah kaum yang lemah. Dengan keberadaan Piagam Madinah, konflik
yang sebelumnya tidak dapat terhindarkan, berlarut-larut mulai tiada. Karena
Piagam Madinah menempatkan semua entitas masyarakat sebagai bagian yang sama
dalam sebuah negara, tiada perbedaan perlakuan kepada siapapun.
Sekalipun
demikian, pada masa selanjutnya tetap saja ada sebagian kelompok yang merasa
kurang mendapatkan keadilan, sehingga melalukan pengkhianatan terhadap Piagam
Madinah, yang mengakibatkan mereka diusir dari Madinah oleh Nabi. Hal ini bukan
menunjukkan diskriminasi, melainkan menegakkan kebenaran sekaligus
menghilangkan kebatilan. Sebab, jika penghianatan tersebut dibiarkan akan
berakibat fatal. Bisa jadi banyak kaum yang kemudian melakukan pengkhianatan
serupa.
Kesuksesan
Nabi Muhammad dalam menata kota Madinah, membuat Michael H. Hart di dalam karya
monumentalnya berjudul "Seratus Tokoh Paling Berpengaruh di Dunia",
menempatkan Nabi berada pada nomor satu sebagai sosok yang paling berpengaruh
di dunia. Sebab, Nabi bisa membangun kota Madinah menjadi kota yang luar biasa,
menjadi kota yang aman dan damai. Padahal pada masa sebelumnya banyak terjadi
pertikaian di dalam sebuah negara.
Pancasila sebagai Jalan Tengah
Gambaran
politik nabi dan piagam madinah di atas, memberikan bukti nyata bahwa Islam
merupakan agama yang mempunyai karakter inklusif dalam setiap hal, termasuk
dalam politik (baca: membangun negara). Seperti ideologi bangsa kita, para
founding fathers kita tahu bahwa masyarakat Indonesia yang memiliki keberagaman
SARA, tidak mungkin dapat ternaungi dengan baik oleh bangunan negara yang
didasarkan hanya kepada agama tertentu. Karena itu, bangunan yang dibangun para
founding fathers adalah berdasarkan rasa kepemilikan bersama.
Dengan
Pancasila, semua entitas yang ada di nusantara dapat berjalan bersama untuk
berjuang bersama dalam setiap aktivitas, atau dengan istilah lain menjadi tidak
terkotak-kotakkan. Karena Pancasila sejatinya merupakan paradigma yang dapat
menyediakan ruang bagi seluruh kebhinnekaan SARA yang ada dan hidup di
Indonesia.
Proses
perumusan Pancasila pun, jika kita bandingkan dengan munculnya Piagam Madinah,
tidak ada ubahnya. Piagam Madinah dibuat Nabi untuk menaungi semua komponen
perbedaan yang ada di Madinah. Sedangkan Pancasila, dirumuskan founding fathers
dari kalangan nasionalis dan Islamis, yang karena kematangan berfikirnya
merumuskan Pancasila, yang mampu menjadi jalan tengah kebhinnekaan SARA.
Untuk masa
sekarang dan yang akan datang, yang terpenting adalah bagaimana cara seluruh
elemen bangsa untuk menjaga Pancasila dari serangan kalangan Islam radikal. Dan
kemudian bagaimana cara caranya agar nilai-nilai yang terkandung dalam
Pancasila, dari sila pertama hingga kelima dapat membumi dengan baik di
Indonesia. Wallahu a'lam bi al-shawab.
Oleh: Muhammad Ali Fuadi, Alumnus UIN Walisongo; Pengajar di Monash Institute Semarang
Tayang di Harakatuna, 07/09/18
Tidak ada komentar:
Posting Komentar