Ekstrimisme
dalam beragama dewasa ini masih dan bahkan semakin mewabah pada diri sebagian
umat Islam di dunia, termasuk umat Islam Indonesia. Kelompok ekstrim dan
radikal tersebut, menumbuhkan pemahaman beragama dan bernegara yang menentang
ideologi kebangsaan dan nasionalisme yang sudah ada. Mereka ingin menggusur
ideologi pancasila dan menggantinya dengan ideologi lain, karena dirasa tidak
cocok. Bahkan, secara gamblang mereka ingin mendirikan negara khilafah di
Indonesia.
Anehnya
kelompok ekstrim tersebut merupakan orang-orang yang berpendidikan, bahkan
berada dalam lingkungan institusi pendidikan. Bagaimana tidak, kelompok radikal
tersebut sudah mulai tumbuh di sebagian institusi pendidikan di Indonesia. Lukman
Hakim Saifuddin, Menteri Agama kita juga mengatakan hal yang sama bahwa
perkembangan kelompok ekstrim ini telah mencapai level mengkhawatirkan. Sebab
isu ekstrimisme ini sudah merambah dunia pendidikan Islam, yang tentu dapat
mengancam keutuhan keberagamaan dan nasionalisme bangsa.
Penyebab
kelompok ini muncul, menurutnya, disebabkan oleh oknum dan kelompok Islam yang
memahami nilai-nilai Islam secara konservatif, tertutup. Mereka mengabaikan
konteks dalam memahami dalil-dalil yang bersifat tekstual. Dalam artian, mereka
cenderung tidak menerima penafsiran yang kontekstual, dan lebih suka dengan
pemahaman yang tekstual.
Melalui
fenomena inilah segenap elemen bangsa harus menjadi agen penjaga moderasi,
terutama para pendidik agama Islam, karena sebagaimana dijelaskan sebelumnya
bahwa kelompok ekstrimisme sudah merambah wilayah pendidikan Islam. Semua harus
turut menjaga, merawat, dan membangun cara beragama yang khas Islam Indonesia.
Dan begitu juga, harus waspada dan menolak regulasi keberagamaan yang secara
esensial telah masuk dalam kategori ekstrimisme yang menentang kebangsaan dan
nasionalisme.
Esensi Beragama
Dari fakta
tersebut pula, dapat ditarik kesimpulan bahwa mereka belum mengerti esensi
beragama. Perlu diketahui, bahwa agama dan beragama merupakan dua dimensi yang
saling terintegrasi antara satu dan yang lain. Prof. Nasaruddin Umar menyatakan
bahwa agama merupakan seperangkat keyakinan dan amalan yang bersumber dari
wahyu, dipilih dengan kesadaran untuk meraih kebahagian dunia dan akhirat.
Sedangkan beragama berarti mengintrodusir nilai-nilai ajaran agama dalam
kehidupan pribadi sehari-hari, keluarga dan masyarakat.
Keyakinan
dan amalan tersebut tentu saja bukan sesuatu yang buruk, karena bersumber dari
wahyu yang keotentikannya sangat terjaga. Nah, apabila ada kelompok ekstrem
yang mengatakan bahwa perbuatan dan amalan yang dilakukan berdasarkan dalil
al-Qur’an dan hadits, namun perbuatan itu menyimpang, berarti mereka telah
salah menafsirkan teks-teks keagamaan tersebut. Karena sejatinya tidak ada teks
keagamaan yang salah, melainkan pemahaman yang salah dalam memahaminya.
Agama
sendiri dalam bahasa Sansekerta memiliki arti keteraturan, berasal dari dua kata, “a” yang berarti tidak dan “gama”
yang berarti tidak teratur. Jadi, agama itu adalah teratur atau keteraturan. Sedangkan
dalam literatur Islam dikenal kata “ad-dīn” yang sering dimaknai sebagai
agama. Kata ad-dīn berasal dari kata dāna, yadīnu, dainan, yang
berarti hutang, kontrak. Dalam
Kamus al-I’jaz wa al-Ījaz, ad-dīn berarti perjanjian dan
persiapan yang dilandasi sebuah ketaatan.
Jadi kelompok radikal yang
mengatasnamakan agama, artinya mereka belum mengerti esensi dalam beragama. Sebab, orang yang sudah menyatakan kontrak, maka akan terikat, dan
wajib memenuhi kontraknya. Implikasi dari kontrak adalah tunduk dan ketaatan,
yang jika sudah diikat dengan kuat maka akan melahirkan sikap komitmen. Dan komitmen beragama terdiri atas dua
macam, yakni
pertama, kontrak manusia dengan Tuhan (dīnun, dīnan), dan kedua, kontrak
manusia dengan manusia (dainun-madīnatun).
Agama Perdamaian
Di dalam
salah satu ayat al-Qur’an (Surat Ali Imran ayat 19), disebutkan kata ad-dīn yang bersandingan dengan kata Islam. Kata ad-dīn berarti agama yang muaranya pada komitmen itu sendiri, sedangkan
Islam, yang berasal dari kata aslama yang berarti berserah diri, dan
kata derivasinya salām yang berarti damai. Jadi Islam itu merupakan
agama perdamaian. Bahkan, dalam salah satu ayat pula Allah memerintahkan manusia
untuk masuk ke dalam perdamaian secara total. Dan memang, komitmen berIslam
harus seperti itu, jika sudah berIslam maka harus sesuai dengan ajaran Islam,
yakni mengajak pada perdamaian, bukan justru menebar pemahaman-pemahaman yang
salah terhadap al-Qur’an.
Karena itu,
gerakan-gerakan keagamaan yang berbau radikal, yang tidak menyeru pada perdamaian,
alias yang memperkeruh Islam yang sebenarnya agama perdamaian menjadi seolah
agama penuh dengan teror dan radikal, harus dibumihanguskan. Sebab, bila gerakan
melawan kelompok ekstrim tersebut tidak ditekankan kepada segenap elemen
bangsa, negeri yang damai menjadi hanya sekadar cita-cita dan angan yang tak
kunjung terealisasikan.
Dan
selanjutnya, agama terutama Islam harus dijadikan setiap umat sebagai spirit
bagi tumbuh dan berkembangnya peradaban manusia, dari sekarang hingga di masa
mendatang. Karena dulu telah banyak juga peradaban besar dalam sejarah manusia
yang berkembang berkat peran yang besar dari agama. Kita harus mampu membawa
Islam sebagai agama yang benar-benar rahmatan li al-‘alamin, dan perihal
pertama dan utama yang harus kita lakukan adalah memerangi gerakan radikal dan
teror, agar negara ini selalu aman dan tentram. Wallahu a’lam.
Oleh: Muhammad Ali Fuadi, Mahasiswa Program Magister Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir UIN Walisongo Semarang
Dimuat di Harakatuna, Juli 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar