Harian Rakyat Jateng, 07 Maret 2015
Kegaduhan politik telah menjalar kemana-mana, bahkan melibatkan rakyat yang sebelumnya tidak acuh terhadap politik. Kegaduhan tersebut semakin menggejala setelah kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang telah berumur lebih dari empat bulan pada kenyataannya tidak mewakili ekspektasi publik. Penyebab utama adalah kekuasaan Presiden Jokowi yang ternyata dibajak oleh oknum yang merupakan mitra koalisinya. Walhasil, kebijakan-kebijakan yang diterapkan justru menyengsarakan rakyat, karena kebijakan tersebut bukan kehendak pribadi Presiden Jokowi, melainkan pesanan politik para oknum-oknum yang berkepentingan.
Kebijakan-kebijakan
tersebut telah membuat publik kecewa berat terhadap Presiden harapan bangsa
yang selama ini telah dinantikan taji kepemimpinannya. Beberapa kebijakan
Presiden Jokowi terkesan diselesaikan secara tidak transparan, di antaranya penyelesaian
kasus Komjen Budi Gunawan, BBM dinaikkan (meskipun kemudian diturunkan, tetapi
tidak dibarengi dengan turunnya berbagai kebutuhan yang sebelumnya mengalami kenaikan
signifikan), pengangkatan beberapa menteri berasal dari parpol, pengangkatan HM
Prasetyo yang berasal dari parpol pendukungnya sebagai Jaksa Agung, kasus kisruh
KPK dan Polri, serta masih banyak lagi lainnya. Di mana arah kebijakan
tersebut?
Pasca pengumuman
pemenang Pilpres, Presiden Jokowi telah memberikan banyak harapan kepada
publik, mulai dari pembuatan rumah transisi, janji desain kabinet ramping dan
bebas parpol, serta program-program menjanjikan lainnya yang terangkum dalam
program Nawa Cita (9 agenda prioritas Jokowi-JK). Namun, semua harapan publik tersebut
kini hanyalah sebuah mimpi yang tidak menjadi kenyataan, karena sudah terbukti
pada kepemimpinan Presiden Jokowi mulai 20 Oktober 2014 atau pasca-pelantikannya
hingga saat ini. Semoga ke depan program yang telah dicanangkan Presiden Jokowi
terealisir dengan baik, karena kondisi bangsa kini semakin carut marut dan tak
berarah.
Dalam situasi dan
kondisi carut marut ini, pemimpin dituntut untuk tidak hanya mimpi berkuasa. Pemimpin
harus tegas, tidak berjiwa medioker. Pemimpin harus mampu berkuasa sebenarnya
dan menggunakan segala kemampuannya untuk membuat kebijakan yang pro terhadap
rakyat. Bagaimana tidak disebut hanya mimpi berkuasa bila semua kebijakan yang
diterapkan hampir semua salah kaprah dan tidak sesuai kehendak rakyat.
Publik kini sadar bahwa
negara sebesar Indonesia harus dikendalikan oleh sosok yang benar-benar mampu
memimpin, bukan pemimpi. Dalam konteks Presiden Jokowi, memang beliau dulu
pernah menjabat sebagai Wali Kota Solo hingga dua periode (tetapi belum selesai
masa jabatan), dan keberhasilannya tidak bisa dinihilkan. Kemudian memimpin
Jakarta dengan hanya beberapa tahun (belum genap satu periode), dan
keberhasilannya belum terlihat sama sekali. Belum mampu mengurusi Jakarta,
beliau harus menanggung seluruh beban berat kepemimpinan di Indonesia. Sudah tentu,
mengurus negara besar membutuhkan banyak tenaga, tidak seperti mengurus kota
Solo yang lingkupnya sangat kecil.
Hutan belantara politik
nasional sangat luas, sehingga membutuhkan sosok pemimpin yang berkapasitas
intelektual ilmu al-‘ulama (pengetahuan ukuran ulama’), hikmatu
al-‘ulama (kebijaksanaan para hukama’), dan siyasatu al-mulk (kepiawaian
berpolitik para raja). Sedangkan kapasitas tersebut belum semuanya dimiliki
oleh Presiden Jokowi. Selain itu beliau juga belum mengenal politik nasional
secara komprehensif. Misalnya dalam penetapan para kabinet yang tidak
berdasarkan the right person on the right place (professional). Kalau dalam
Islam, Nabi Muhammad pernah menegaskan bahwa serahkanlah sesuatu kepada
ahlinya, dan jika tidak maka tunggulah saat kehancurannya.
Meskipun konsep
tersebut tidak baku dalam dunia politik, tetapi sudah menggambarkan eksistensi
kepemimpinan Presiden Jokowi beserta para kabinetnya selama hampir empat bulan
kepemimpinannya. Kepemimpinan Presiden Jokowi hanya didesain dengan janji-janji
politik; dipoles dengan berbagai visi dan misi. Akan tetapi, realisasi
janji-janji tersebut tidak ada sama sekali, baik yang disodorkan kepada para
pendukung maupun bukan. Lebih parah, kebijakan yang selama ini diterapkan hanya
dimakan oleh oknum-oknum berkepentingan di negara kita.
Masih ingatkah debat
calon Gubernur DKI Jakarta silam? Chusnul Mar’iyah, pakar politik Universitas
Indonesia dalam artikelnya menjelaskan bahwa pada saat itu ketika Presiden
diberikan pertanyaan, “Bagaimana dan apa yang harus dilakukan pemimpin dalam
memimpin birokrasi?” Presiden menjawab akan memimpin seperti CEO (chief executive officer).
Jawaban tersebut menuai banyak sanggahan, tak terkecuali oleh Chusnul Mar’iyah,
bahwa pemimpin politik bukan seperti pemimpin perusahaan, yang profit oriented,
apalagi dalam konteks memimpin negara.
Pemimpin negara
membutuhkan banyak pemahaman dan pengetahuan. Tidak hanya dukungan publik yang
notabene belum mengerti tentang politik. Mereka telah digiring opini publik dan
media tidak independen yang justru menyesatkan, bukan berdasarkan orientasi
pada kebenaran. Sebelum memimpin suatu negara, setiap calon pemimpin harus
mampu mengetahui secara komprehensif problem yang ada dalam negara, agar ketika
memimpin telah siap membuat berbagai kebijakan secara cepat dan tepat; sesuai
dengan kondisi dan situasi rakyat.
Di sisi lain, Chusnul
Mar’iyah mengatakan bahwa presiden diharapkan tidak berbangga diri dengan hanya
mampu mengurangi anggaran pengeluaran negara melalui kebijakan; Presiden
menggunakan pesawat kelas ekonomi, kegiatan kementerian yang dilarang di hotel,
dan lain sebagainya. Meskipun oleh pakar ekonomi anggaran yang diminimalisir
dalam pengeluaran negara seperti yang dilakukan Presiden Jokowi bisa ditabung, namun
apakah layak pemerintahan Presiden Jokowi mengklaim pengeluaran negara irit?
Sedangkan program unggulan Presiden Jokowi selama ini belum ada yang disentuh?
Diakui, program-program yang selama ini dilaksanakan Presiden Jokowi belum
mengindikasikan program unggulannya. Maka tak ayal jika anggaran negara saat
ini masih berjumlah besar.
Dalam rangka mengatasi
seluruh penderitaan bangsa, Presiden Jokowi harus menerapkan kebijakan dengan
mantap dan tepat. Presiden harus mampu menggerakkan seluruh menteri di
kabinetnya untuk membangun bangsa Indonesia. Dalam memimpin Indonesia, Presiden
tidak mungkin melakukan kebiasaan pencitraan dengan gaya blusukan. Indonesia
sangat luas, tidak seperti Jakarta, bahkan Solo yang hanya sedikit warga. Indonesia
kini telah berada pada shutting down government (pemerintahan kondisi kacau),
karena kekuasaan dibajak oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Karena
itu, Presiden Jokowi harus bangkit menciptakan negara yang berdaulat. Wallahu
a’lam bi al-shawab.
Oleh: Muhammad Ali Fuadi, Ketua Bidang Demokrasi
di Center for Demokracy and Religius Studies (CDRS) UIN Walisongo Semarang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar