Tafsir Ayat Tentang Menikah Beda Agama
Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Tafsir Ayat Mu’amalah
Dosen Pengampu:
Moch Noor Ichwan, M.Ag
Disusun Oleh:
Muhammad Ali Fuadi (124211064)
PRODI TAFSIR HADITS
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014
I.
PENDAHULUAN
Pernikahan
merupakan hak bagi setiap orang, baik muslim maupun non-muslim. Dan dalam
pelaksanaanya, setiap agama itu pun memiliki perbedaan yang cukup signifikan
dalam ritual pernikahannya. Semua tergantung kepercayaan yang mereka anut. Jadi
tidak dapat disalahkan apabila antara agama yang satu dengan yang lain berbeda
dalam tata cara pelaksaannya, karena kita berada di dalam negeri yang plural,
di mana perbedaan merupakan keniscayaan.
Dewasa ini
banyak kita temukan seseorang yang menikah meskipun memiliki perbedaan
kepercayaan atau agama. Sebenarnya, hal itu muncul karena pengaruh Islam
liberal. Meskipun benih-benihnya sudah tumbuh pada era 1970-an, namun
generasinya sekarang semakin mekar. Dalam memahami nash (teks-teks al-Qur’an),
kelompok liberalis ini mengusung kebebasan dalam berfikir dan cenderung kepada
pemahaman pluralisme agama. Teks-teks agama mereka formalisasikan sesuai dengan
selera mereka, bukan pada pemahaman-pemahaman seperti yang dikembangkan para
ulama saat ini.
Berdasarkan
fenomena tersebut, pemakalah akan membahas secara lebih komprehensif tentang
boleh-tidaknya seorang yang berbeda agama untuk menikah. Dalam hal ini,
pemakalah mengambil pendapat dar para ilmuan serta beberapa literatur yang
terdapat dalam kitab tafsir klasik maupun modern dan kontemporer, agar
pembahasan di dalamnya lebih luas.
II.
PENGERTIAN MENIKAH
Secara bahasa
(etimologi), nikah berarti berhimpun. Sedangkan di dalam buku Wawasan al-Qur’an
karya M. Quraish Syihab dijelaskan bahwa menikah adalah perjanjian antara
laki-laki dan perempuan untuk bersuami istri (secara resmi), atau bisa
diartikan pula dengan perkawinan.
Di dalam
al-Qur’an, istilah menikah dijelaskan dengan menggunakan redaksi nakaha
dan zawwaja, yang berarti pasangan. Selain diartikan sebagaimana yang
telah disebutkan, secara majazi juga diartikan dengan “hubungan seks”. Sebab,
secara umum kata tersebut digunakan untuk menggambarkan terjalinnya hubungan
suami istri secara sah. Kata-kata tersebut juga memiliki implikasi hukum dalam
kaitannya dengan ijab kabul (serah terima) pernikahan.
Pernikahan,
atau tepatnya berpasangan merupakan ketetapan Ilahi atas segala makhluk.
Berulang-ulang kali hakikat tersebut dijelaskan oleh al-Qur’an, salah satu di
antaranya adalah sebagai berikut:
وَمِنْ كُلِّ
شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Artinya: “Dan
segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan
kebesaran Allah.” (QS. Al-Dzariyat : 49)[1]
III.
AYAT TENTANG MENIKAH BEDA AGAMA
Ayat-ayat yang
menjelaskan tentang boleh dan tidaknya menikah beda agama adalah sebagai
berikut, yaitu Surat al-Baqarah ayat 221:
وَلا
تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلأمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ
مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى
يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ
أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ
بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
Artinya: “Dan janganlah kamu
nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak
yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan
janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin)
sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang
musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah
mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil
pelajaran.” (QS. Al-Baqarah : 221)
Dan yang kedua adalah surat
al-Mumtahanah ayat 10:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا جَاءَكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ
مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ اللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِهِنَّ فَإِنْ
عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ لَا هُنَّ
حِلٌّ لَهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ وَآتُوهُمْ مَا أَنْفَقُوا وَلَا
جُنَاحَ عَلَيْكُمْ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَلَا
تُمْسِكُوا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ وَاسْأَلُوا مَا أَنْفَقْتُمْ وَلْيَسْأَلُوا
مَا أَنْفَقُوا ذَلِكُمْ حُكْمُ اللَّهِ يَحْكُمُ بَيْنَكُمْ وَاللَّهُ عَلِيمٌ
حَكِيمٌ
Artinya: “Hai orang-orang yang
beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman,
maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang
keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar)
beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka)
orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan
orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada
(suami-suami) mereka mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu
mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu
tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan
hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta
mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di
antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS.
Al-Mumtahanah : 10)
Ayat-ayat di atas termasuk surat
Madaniyah yang pertama kali turun dan membawa pesan khusus agar orang-orang
Muslim tidak menikahi perempuan musyrik atau sebaliknya. Imam Muhammad al-Razi
dalam al-Tafsir al-Kabir wa Mafatih al-Ghaib menyebut ayat tersebut
sebagai ayat-ayat permulaan yang secara eksplisit menjelaskan hal-hal yang
halal (ma yuhallu) dan hal-hal yang dilarang (ma yuhramu). Dan,
menikahi orang musyrik merupakan salah satu perintah Tuhan dalam kategori
“haram” dan “dilarang”.
Memang, apabila membaca ayat ini
secara literal akan didapatkan kesimpulan yang bersifat serta-merta, bahwa menikahi
non-muslim hukumnya haram. Cara pandang seperti ini dikarenakan sebagian
masyarakat muslim masih beranggapan bahwa yang termasuk dalam kategori musyrik
adalah non-muslim, termasuk di antaranya Kristen dan Yahudi. Namun, pertanyaan
yang perlu dikemukakan adalah apakah non-muslim (Kristen dan Yahudi) masuk
dalam kategori musyrik? Kalau tidak, lalu apa yang dimaksud dengan “musyrik”
dalam al-Qur’an?[2]
Berikut akan dijelaskan secara lebih komprehensif pada pembahasan berikutnya.
IV.
PENGERTIAN MUSYRIK DAN KAFIR (NON-MUSLIM)
Sebelum kita membahas penafsiran
ayat-ayat di atas, alangkah lebih baiknya apabila mengartikan terlebih dahulu
makna musyrik dan kafir itu sendiri. Hal ini digunakan untuk membantu memahami
ayat-ayat yang ada di atas.
Untuk memudahkan pembahasan,
sebelumnya kami klasifikasikan kategori non-muslim yang ada di negara kita.
Dalam kajian sosiologi, non-muslim adalah mereka yang berada di luar agama
Islam. Termasuk dalam kategori ini adalah mereka yang memluk agama Hindu,
Katolik, Protestan, Budha, Konghucu, Yahudi, dan agama-agama lainnya. Sedangkan
dalam literatur Islam, mereka yang berada di luar agama Islam (non-muslim)
disebut sebagai orang-orang kafir.
Khusus mereka yang memeluk agama
Nasrani (Kristen, baik Katolik maupun Protestan) dan Agama Yahudi, dalam literatur
Islam disebut sebagai Ahli Kitab. Hal ini perlu diketahui, karena al-Qur’an sering
menyebutkan terminologi Ahli Kitab sebagai penganut agama yang memiliki kitab
samawi. Selain Ahli Kitab, mereka disebut kaum musyrikin, baik mereka yang
beragama Majusi, Shabi’ah, Animisme, dan lain-lain.
Kelompok Ahli Kitab (penganut
Yahudi dan Nasrani) dan kelompok Musyrikin (penganut selain agama Yahudi dan
Nasrani) oleh al-Qur’an disebut orang kafir. Allah berfirman:
لَمْ يَكُنِ
الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ مُنْفَكِّينَ حَتَّى
تَأْتِيَهُمُ الْبَيِّنَةُ
Artinya: “Orang-orang yang kafir
dari golongan Ahli Kitab dan orang-orang musyrik tidak akan meninggalkan (agama
mereka) sampai datang kepada mereka bukti yang nyata.” (QS. Al-Bayyinah :
1)
Oleh karena itu, tentu tidak salah
apabila orang Islam menyebut orang non-muslim itu sebagai orang kafir. Orang
Islam juga tidak perlu merasakan keberatan, apabila ia disebut sebagai kafir
(tidak beriman) terhadap ajaran-ajaran yang bertentangan dengan Islam.[3]
V.
KONOTASI AHLI KITAB
Term Ahli Kitab di dalam al-Qur’an
ditemukan sebanyak 31 kali yang tersebar dalam 9 surat. Secara umum semuanya
menunjuk pada dua komunitas, yaitu kaum Yahudi dan Nasrani. Begitu pula pada
masa awal perkembangan Islam, khususnya masa Rasulullah Saw dan para
sahabatnya, term Ahli Kitab ditujukan pada kaum Yahudi dan Nasrani. Selain
mereka tidak disebut sebagai Ahli Kitab, tetapi mereka tidak termasuk komunitas
Ahli Kitab.
Cakupan batasan Ahli Kitab
mengalami perkembangan pada masa Tabi’in. Abu al-Aliyah (w. 39 H) mengatakan
bahwa kaum Shabi’un adalah kelompok Ahli Kitab yang membaca kitab suci Zabur.
Imam Abu Hanifah (w. 150 H) dan ulama lain dari madzhab lain dari Madzhab
Hanafi serta sebagian Madzhab Hanbali berpendapat, siapapun yang mempercayai
salah seorang Nabi, atau kitab yang pernah diturunkan Allah, maka ia termasuk
Ahli Kitab. Terminologi Ahli Kitab, menurut mereka, tidak terbatas pada
kelompok-kelompok penganut agama Yahudi dan Nasrani saja.
Menurut Imam Syafi’i (w. 204 H),
istilah Ahli Kitab hanya menunjuk pada orang-orang Yahudi dan Nasrani dan
keturunan Bani Isra’il. Alasannya, Nabi Musa dan Nabi Isa hanya diutus kepada Bani
Israil dan bukan kepada bangsa-bangsa lain. Karenanya, dalam pandangan ini,
bangsa-bangsa lain yang menganut agama Yahudi dan Nasrani, begitu pula
orang-orang Kristen Indonesia, tidak termasuk Ahli Kitab.
Selain itu al-Qur’an (al-Maidah :
5) memaknai redaksi min qablikum (sebelum kamu). Dengan demikian, mereka
yang menganut agama Yahudi dan Nasrani selain dari keturunan Bani Israil tidak
dikatakan Ahli Kitab. Sedangkan al-Thabari (w. 310 H) memahami term Ahli Kitab
secara ideologis. Menurutnya, mereka adalah para pemeluk agama Yahudi dan
Nasrani dari keturunan siapapun mereka.
Dengan demikian, cakupan Ahli Kitab
hanya terbatas pada komunitas Yahudi dan Nasrani saja. Sekiranya Majusi termasuk
Ahli Kitab, Rasulullah Saw tidak akan memerintahkan para sahabat untuk
memperlakukan mereka seperti halnya Ahli Kitab. Begitu pula surat-surat dakwah
yang beliau kirimkan kepada sejumlah penguasa diluar Semenanjung Arabia, memberikan
petunjuk bahwa Ahli Kitab hanya sebatas kaum Yahudi dan Nasrani.
Surat-surat tersebut juga
mengindikasikan bahwa Islam adalah agama dakwah. Seandainya status mereka itu
sama dengan umat Islam di mana mereka kelak di akhirat bersama-sama orang
Islam, masuk di surga, niscaya Rasulullah Saw tidak mengirimkan surat-surat
dakwah itu kepada mereka.[4]
VI.
TAFSIR AYAT TENTANG MENIKAH BEDA AGAMA
Ayat-ayat
di atas (QS. Al-Baqarah ayat 221 dan al-Mumtahanah ayat 10) secara tegas
menjelaskan tentang hukum pernikahan muslim dengan non-muslim (musyrik) baik
antara laki-laki muslim dengan perempuan non-muslim maupun antara perempuan
muslimah dengan laki-laki non-muslim.
Kemudian
mengenai pernikahan kaum muslim dengan non-muslim (Ahli Kitab), terdapat dua
kategori. Pertama, pernikahan laki-laki muslim dengan perempuan Ahli Kitab, dan
kedua, pernikahan laki-laki Ahli Kitab dengan perempuan muslimah. Kedua
kategori ini memiliki konsekuensi hukum yang berbeda. Hal ini sebagaimana yang
dijelaskan dalam beberapa surat, seperti dalam surat al-Baqarah ayat 221 serta
surat al-Mumtahanah ayat 10, serta ayat-ayat pendukung lainnya, berikut secara
detailnya:
1. Pernikahan
Laki-Laki Muslim dengan Perempuan Non-Muslimah
Kategori
yang pertama ini, para ulama sepakat bahwa pernikahan laki-laki muslim dengan
perempuan non-muslimah (Ahli Kitab) diperbolehkan dalam syari’at Islam.
Pendapat ini sebagaimana yang dijelaskan dalam ayat berikut, bahwa:
وَلا
تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ
Artinya:
“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Di
dalam tafsir al-Maraghi dijelaskan bahwa janganlah kalian menikahi
wanita-wanita musyrik yang tidak memiliki kitab, sehingga mereka mau beriman
kepada Allah dan membenarkan Nabi Muhammad Saw.[5]
Lafadz
وَلا
تَنْكِحُوا maksudnya adalah “Dan janganlah
kamu menikahi” wanita-wanita, الْمُشْرِكَاتِ (musyrik)
selama mereka masih dalam kesyirikan mereka, حَتَّى يُؤْمِنَّ (hingga
mereka beriman); karena seorang wanita mukmin walaupun sangat jelek
parasnya lebih baik daripada seorang wanita musyrik walaupun sangat cantik parasnya.
Dan Allah pun mengatakan bahwa sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik
daripada wanita musyrik walaupun dia menarik hati kamu. Syirik di sini dalam
pandangan ulama dijelaskan bahwa siapa saja yang percaya ada Tuhan bersama
Allah. Atau dengan kata lain, mereka memiliki tujuan utama ganda: selain kepada
Allah juga kepada selain-Nya.
Dalam
al-Qur’an, kata musyrik pun juga memiliki makna yang senada dengan surat
al-Baqarah ayat 105, berbunyi:
ما يود الذين كفروا من أهل الكتاب ولا المشركين أن ينزل عليكم من خير من
ربكم
Artinya:
“Orang-orang kafir dari ahlul kitab dan orang-orang musyrik tiada
menginginkan diturunkannya suatu kebaikan sesuatu kebaikan kepadamu daru
Tuhanmu”.[6]
ؤلا تنكحوا “Dan janganlah kamu menikahi”. Qiraah mayoritas ulama adalah dengan fathah huruf
ba’. Sedangkan qira’ah yang jarang adalah dengan menggunakan dhammah huruf ba’,
seolah orang yang menikahi wanita musyrik itu menikahkannya kepada dirinya.
Asal makna nakah adalah al- Jimaa’ (senggama). Namun digunakan untuk
menyebut perkawinan, karena majaz perluasan penggunaan bahasa.
Para ulama berbeda pendapat tentang takwil ayat
tersebut. Sekelompok mengatakan bahwa Allah telah mengharamkan menikahi
wanita-wanita musyrik dalam surat al-Baqarah, kemudian sebagian dari
wanita-wanita musyrik tersebut—yaitu Ahl al-kitab—dinasakh, dimana Allah telah
menghalalkan mereka dalam surat al-Maidah. Pendapat ini diriwayatkan dari Ibnu
Abbas. Pendapat ini pun dikemukakan oleh Malik bin Anas, Sufyan bin Sa’id
ats-Tsauri, dan Abdurrahman bin Amru al Auza’i.
Qatadah dan Sa’id bin Jubair berkata, “lafadz ayat ini
bersifat umum (sehingga mencakup) setiap wanita kafir, namun yang dimaksud
adalah (makna yang) khusus, yaitu wanita-wanita Ahl al-Kitab. Makna yang khusus
ini dijelaskan oleh ayat dalam surah al-Maidah. Sedangkan yang umum sama sekali
tidak mencakup wanita-wanita Ahl al-Kitab. Ini adalah salah satu dari dua qaul
Imam Syafi’i.
Jika berdasarkan pendapat yang pertama, mereka tercakup lafadz yang umum. Kemudian ayat
surat al-Maidah itu menasakh sebagian dari makna yang umum tersebut. Ini adalah
Madzhab Imam Malik. Demikianlah yang dikemukakan oleh Ibnu Habib. Ibnu Habib
berkata: “Meskipun menikahi wanita Yahudi dan Nasrani telah dihalalkan oleh
Allah, namun hal itu disertai dengan celaan.”
Ishak bin Ibrahim al Harabi berkata: “Sekelompok
berpendapat untuk menjadikan ayat dalam surat al-Baqarah sebagai ayat menasakh
(menghapus). Sedangkan ayat dalam al-Maidah sebagai ayat yang dinasakh
(dihapus). Mereka mengharamkan menikahi setiap wanita musyrik, baik Ahl
al-Kitab maupun selainnya.”[7]
An-Nuhas berkata: “Di antara hujjah yang sah sanadnya,
yang dikemukakan oleh orang-orang yang mengumukakan pendapat ini adalah apa
yang diceritakan kepada kami oleh Muhammad bin Rayyan, dia berkata: ‘Muhammad
bin Rumh menceritakan kepada kami, dia berkata: ‘al-Laits menceritakan kepada
kami dari nafi’, bahwa Abdullah bin Umar jika ditanya tentang seseorang lelaki
yang akan menikahi seorang wanita Nasrani atau Yahudi, maka dia menjawab: ‘Allah
telah mengharamkan wanita musyrik kepada orang-orang beriman. Sementara aku
tidak mengetahui suatu kemusyrikan yang lebih besar daripada seorang wanita
yang mengatakan bahwa Tuhannya adalah Isa, atau salah satu dari hamba-hamba
Allah’.”
An-Nuhas berkata: “Pendapat ini berbeda dengan
pendapat segolongan orang yang ditopang hujjah. Sebab, ada golongan orang baik
dari kalangan sahabat maupun tabi’in yang menyatakan bahwa menikahi wanita
Ahlul Kitab itu halal. Diantaranya adalah Ustman, Thalhah, Ibnu Abbas, Thawa,
dan masih banyak lainnya.
Selain itu, ayat dalam surat al-Baqarah ini tidak
dapat menasakh ayat dalam surat al-Maidah. Sebab, ayat dalam surat al-Baqarah
ini merupakan hal pertama yang diturunkan di Madinah. Sedangkan dalam surah
al-Maidah adalah hal terakhir yang diturunkan (di sana). Ada juga yang terakhir
menasakh yang pertama, (bukan sebaliknya).[8]
Ibnu al-Mundzir meriwayatkan boleh menikah dengan
wanita ahlul kitab dari Umar bi Khatab dan para sahabatnya serta tabi’in. Ibnu
al-Mundzir berkata di akhir ucapannya: “Tidak sah dari seorang sahabat pun dari
generasi pertama bahwa mereka mengharamkan hal itu.”
Sebagian ulama berkata: “Adapun kedua ayat tersebut
sesungguhnya tidak ada pertentangan diantara keduanya. Sebab, dzahirnya lafadz
syirik itu tidak mencakup ahlul Kitab. Hal ini berdasarkan firman Allah:
“Hai orang-orang kafir dari ahli kitab dan orang-orang
musyrik tiada menginginkan diturunkannya sesuatu kebaikan kepadamu dari Tuhanmu
(QS. Al-Baqarah: 105). Allah juga berfirman: “Orang-orang kafir yakni ahlul
kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan
(agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata.” (Qs. al-Bayyinah:
1).
Dalam ayat di atas, Allah membedakan lafadz di antara
mereka. Sedangkan Athaf (kata sambung wawu/dan) itu menunjukkan adanya
perbedaan antara ma’thuf (yang menyambung) dan ma’thuf alaih (yang
disambung). Selain itu, kata syirik adalah umum, dan bukan nash. Adapun firman
Allah “Dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang
diberi al-Kitab,” (Qs. Al-Maidah: 5), setelah firman Allah: (dan dihalalkan
mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang
beriman,“ (Qs. Al-Maidah: 5) merupakan nash. Oleh karena itulah tidak ada
pertentangan antara sesuatu yang muhtamal (menghubungkan kemungkinan)
dan yang tidak muhtamal.”
Dikatakan bahwa yang dimaksud dari firman Allah: “Dan
wanita-wanita yang menjaga kehormatan diantara orang-orang yang diberi al-kitab
sebelum kamu, “ (QS. Al-Maidah: 5), adalah orang-orang yang diberikan al-Kitab
sebelum kamu kemudian mereka masuk Islam, seperti firman Allah “Dan
sesungguhnya di antara ahli kitab ada orang yang beriman kepada Allah, “ (Qs.
Ali Imran: 199) dan firman-Nya: “diantara ahli kitab itu ada golongan yang
berlaku lurus, “ (Qs. Ali Imran: 113. Maka hal itu dijawab:
Hal ini bersangkutan dengan nash ayat dalam firman
Allah: “Dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang
diberi al-kitab sebelum kamu (al-Maidah: 5). Juga berseberangan dengan apa yang
dikatakan oleh mayoritas ulama. Sebab, tidak samar bagi seseorang pun bahwa
menikah dengan orang Islam dan berada ditengah komunitas kaum muslim adalah
suatu hal yang diperbolehkan.
Jika mereka mengatakan bahwa firman Allah: “mereka
menjaga neraka,“ dimana ajakan ke neraka dijadikan alasan hukum untuk
mengharamkan menikahi mereka, maka jawabannya adalah hal tersebut (mengajak ke
neraka) adalah alasan hukum untuk firman Allah: “Sesungguhnya wanita budak
yang mukmin lebih baik dari wanita yang musyrik.” Sebab, orang musyrik itu
mengajak ke neraka. Alasan hukum ini berlaku untuk orang-orang kafir. Dengan
demikian, orang Islam itu lebih baik daripada orang kafir secara absolut. Hal
ini sangatlah jelas.[9]
Adapun menikahi laki-laki Ahlul Kitab, jika mereka
adalah orang-orang yang memerangi kaum muslim, maka hal itu tidak dihalalkan.
Hal ini dipertegas oleh Ibnu Abbas ketika ditanga tentang hal itu, dia
menjawab, “itu tidak halal”. Ibnu Abbas membaca firman Allah:
قَٰتِلُوا۟ ٱلَّذِينَ لَا
يُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ وَلَا بِٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ وَلَا يُحَرِّمُونَ مَا
حَرَّمَ ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥ وَلَا يَدِينُونَ دِينَ ٱلْحَقِّ مِنَ ٱلَّذِينَ
أُوتُوا۟ ٱلْكِتَٰبَ حَتَّىٰ يُعْطُوا۟ ٱلْجِزْيَةَ عَن يَدٍۢ وَهُمْ صَٰغِرُونَ.
“Perangilah
orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari
kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan
RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu
orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar
jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk” ( Qs. At-Taubah: 29).
Imam Malik menganggap makruh menikah dengan wanita kafir harbi (yang
tingga di luar kawasan Islam dan suka memusuhi Islam dan umatnya). Alasannya
adalah karena akan meninggalkan anak di masa perang. Juga karena wanita
tersebut umumnya mengkonsumsi khamr dan babi.[10]
Ayat
al-Baqarah 221 yang ada di atas secara umum menjelaskan pada seluruh wanita
musyrik, kemudian dikhususkan oleh ayat dalam potongan surat al-Maidah tentang
bolehnya menikahi wanita ahli Kitab, sebagaimana Allah berfirman:
لَّهُمْ
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا
الْكِتَابَ مِن قَبْلِكُمْ إِذَا ءَاتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ
غَيْرَ مُسَافِحِينَ
وَلاَ مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ
Artinya: “(Dan dihalalkan mengawini)
wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi
Al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud
menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikan
gundik-gundik.” (QS. Al-Maidah : 5)
Oleh
karena potongan ayat al-Baqarah ayat 221 di atas masih bersifat umum, kemudian
Allah menyebutkan hikmah dalam hukum haramnya seorang mukmin atau wanita mukmin
menikah dengan selain agama mereka dalam firmanNya:
أْوْلَئِكَ يَدْعُونَ
إِلَى النَّارِ “Mereka mengajak ke
neraka” yaitu dalam perkataan-perkataan, perbuatan-perbuatan, dan
kondisi-kondisi mereka. Dengan begitu, bergaul dengan mereka merupakan suatu
yang bahaya, dan bahayanya bukanlah bahaya duniawi, melainkan bahaya
kesengsaraan yang abadi.[11]
وَلأمَةٌ
مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ
Sedangkan
kata selanjutnya adalah sesungguhnya wanita hamba sahaya yang beriman, meskipun
tidak memiliki harta dan rendah, kedudukannya, lebih baik daripada seorang
wanita musyrik merdeka dengan segala kemuliaan kemerdekaan dan kemuliaan
nasibnya, meskipun ia sangat menarik. Hatimu dengan kecantikan dan harta yang
ia miliki serta hal-hal lain yang menyebabkan seorang lelaki terpikat
karenanya.
Dengan
iman, seseorang wanita akan mencapai kesempurnaan agamanya, dan dengan harta
dan kedudukannya ia memperoleh kesempurnaan dunianya. Memelihara agama lebih
baik daripada memelihara urusan duniawi, apabila tidak mampu memelihara
keduanya. Hanya saja, kesamaan dalam beragama lebih menjamin terwujudnya rasa
kasing sayang dan saling perhatian antara keduanya. Dengan demikian, maka akan
sempurna pulalah manfaat-manfaat duniawi hanya dengan tercapainya suatu
kehidupan rumah tangga yang harmonis, yang saling menjaga dan memelihara baik
diri maupun harta, serta mendidik anak-anaknya dengan pendidikan yang lebih
baik dan menghiasi anak-anaknya dengan pendidikan akhlak yang mulia. Maka,
jadilah mereka contoh yang baik bagi sesamanya.[12]
Ulama berbeda
pendapat tentang perempuan musyrik yang haram dinikahi itu, sebagian mengatakan
bahwa yang haram dinikahi itu mengatakan yang haram dinikahi hanyalah perempuan
kafir menyembah berhala, demikain keterangan qatadah dan selanjutnya ia
mengatakan Ayat ini diturunkan kepada abu marsyad al-ghinawi ketika dia diutus
Rasulullah ke ekah, di sana bertemu dengan seorang perempuan musyrik yang
bernama inaq yang telah berkenalan denganuya pada zaman jahiliyah . Perempuan
itu memintanya supaya menagwininya, tetapi abu marsad belulm mau mengabulkan
permintaaan itu dan berjanji untuk telebih dahulu nmenanyakan kepada rasulullah
saw dimaninah, sesampainya dimadinah ditanyakan nya kepada rasululllah. Mak
beardasarkan kasus tersebut turunlah surat al- baqarah ayat 221.[13]
Menurut
sementara ulama meskipun ada ayat yang membolehkan perkawinan laki-laki muslim
dengan wanita Ahl-Kitab (penganut agama Yahudi dan Kristen). Yaitu surat Al-Maidah
ayat 5, yang menyatakan:
وَاْلمُحْصَنَتُ مِنَ اْلمُؤْمِنَتُ
وَاْلمُحْصَنَتُ مِنَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا اْلكِتَابَ
“Dan (Dihalalkan pula)
bagi kamu (mengawini) wanita-wanita terhormat di antara wanita-wanita yang
beriman, dan wanita-wanita yang terhormat di antara orang-orang yang
dianugerahi kitab (suci).”
Tetapi izin
tersebut telah digugurkan oleh surat al-Baqarah ayat 221 di atas.[14]
2. Pernikahan
Laki-Laki Non-Muslim dengan Perempuan Muslimah
Mengenai
pernikahan laki-laki non-muslim (Ahli Kitab) dengan permpuan muslimah, para
ulama pun bersepakat mengharamkannya. Pendapat ini didasarkan pada potongan dalil
berikut:
فَإِنْ
عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ لَا هُنَّ
حِلٌّ لَهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ
Artinya:
“Maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka
janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir.
Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada
halal pula bagi mereka” (QS. Al-Mumtahanah : 10)
Ayat
ini dengan tegas mengharamkan pernikahan laki-laki non-muslim dengan perempuan
muslimah. Demikian penjelasan para ulama. Misalnya Imam Ibnu Katsir (w. 774 H)
dalam kitabnya Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, beliau mengatakan:
هذه الاية
هى التي حرمت المسلمات على المشركبن
Artinya:
“Ayat inilah yang mengharamkan (pernikahan) perempuan muslimah dengan laki-laki
non-muslim (musyrik).”
Imam
Asy-Syaukani (w. 1250 H) dalam kitabnya al-Qadir juga menyatakan:
فيه
دلبل على أن المؤمنة لاتحل لكافر
Artinya:
“Dalam firman Allah ini terdapat dalil bahwa wanita mukminah tidak halal
(dinikahi) orang kafir.”[15]
Ayat
ini berkaitan dengan kaum muslimah yang hijrah ke madinah dan meninggalkan
suami-suami mereka yang musyrik di Makkah. Kendati suami-suami itu adalah kaum
musyrikin di Makkah, namun ayat ini menggunakan istilah kafir. Karenanya, ayat
dapat menjadi dalil keharaman pernikahan laki-laki musyrik dengan perempuan
muslimah, seperti dikatakan oleh Imam Ibnu Katsir, dan juga menjadi dalil
diharamkannya pernikahan laki-laki kafir dengan perempuan muslimah, seperti
dikatakan Imam Asy-Syaukani.
Sebelum
turunnya ayat ini, pernikahan antara laki-laki non-muslim dengan perempuan
muslimah memang diperbolehkan. Puteri Nabi Muhammad Saw, Zainab juga bersuami
Abdul Ash bin al-Rabi seorang musyrik (non-muslim). Ketika terjadi perang badar
(2 H), Abdul Ash menjadi tawanan kaum muslimin. Zainab kemudian berupaya
menebusnya dengan memberikan sebuah kalung peninggalan ibunya, Khadijah.
Melihat kejadian ini, Nabi Muhammad Saw pun terenyuh hatinya. Akhirnya beliau
menyuruh para sahabat untuk membebaskan menantu beliau, Abul Ash.
Setelah
Abul Ash dibebaskan, ia kembali ke Makkah, sementara istrinya, Zainab masih
tetap bersama Nabi Saw dan tinggal di Madinah. Dua tahun kemudian, Abul Ash
masuk Islam. Maka Nabi Saw mengembalikan puteri beliau Zainab kepada suaminya
yang sudah muslim itu, tanpa pernikahan baru.[16]
Larangan
tentang tidak bolehnya laki-laki non-muslim menikah dengan perempuan muslimah tersebut
juga dijelaskan oleh Allah sendiri dengan melarang para wali agar tidak
menikahkan anak perempuan-perempuan yang berada dalam perwaliannya dengan
seorang laki-laki musyrik. Berikut ayatnya:
وَلَا
تُنْكِحُوا اْلُمشْرِكِيْنَ حَتَّى يُؤْمِنُوْا
“Dan janganlah
kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum
mereka beriman”. (QS Al-Baqarah: 221).
Dalam
firmanNya, وَلاَ تُنكِحُوا الْمُشْرِكِينَ “Dan
janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin)” terdapat
dalil tentang harus adanya wali dalam nikah. وَاللهُ
يَدْعُوا إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ
“Sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan”, maksudnya,
menyeru hamba-hambaNya untuk memperoleh surga dan ampunan yang di antara
akibatnya adalah menjauhkan diri dari segala siksaan. Hal itu dengan cara
mengajak untuk melakukan sebab-sebabnya berupa amal shalih, bertaubat yang
sungguh-sungguh, berilmu yang bermanfaat dan mengamalkannya.
وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ
“Dan Allah menerangkan ayat-ayatNya
(perintah-perintahNya)” maksudnya, hukum-hukumNya, dan
hikmah-hikmahnya, لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ
يَتَذَكَّرُونَ “kepada manusia supaya mereka mengambil
pelajaran.” Hal tersebut mewajibkan mereka untuk
mengingat apa yang telah mereka lupakan dan mengetahui apa yang tidak mereka
ketahui serta mengerjakan apa yang telah mereka lalaikan.[17]
الْمُشِرِكِينَ تُنكِحُواْ وَلاَ
(Dan janganlah
kamu menikahkan orang-orang musyrik ), yakni janganlah kalian menikahkan
mereka dengan wanita-wanita yang beriman, يُؤْمِنُواْ حَتَّى ( sebelum mereka beriman).
Al-qrthubi berkata “ Ummat islam telah sependapat, bahwa laki-laki musyrik
tidak boleh menggauli wanita beriman dengan cara apapun, karena hal ini berarti
menodai islam.”
Para ahli
qira’at sependapat men-dhammah-kan huruf ta pada kalimat تُنكِحُواْ (kamu
nikahkan). مُّؤْمِنٌ وَلَعَبْدٌ
(Sesungguhnya budak yang mukmin) pembahasannya sama dengan pembahasan
tentang firman-Nya : وَلأَمَةٌ
(sesungguhnya
budak wanita).
أُوْلَـئِكَ
(mereka) adalah isyarat yang menunjukkan kepada laki-laki musyrik dan
para wanita musyrik. النَّارِ
إِلَى يَدْعُونَ ( mengajak ke
neraka), yakni mengajak ke perbuatan-perbuatan yang mengharuskan masuk neraka. الْجَنَّةِ إِلَى
يَدْعُوَ وَاللّهُ (Sedangkan Allah mengajak ke
surga ) ada yang mengatakan, bahwa para wali Allah itu adalah orang
yang beriman yang mengajak ke surga.
بِإِذْنِهِ ( dengan
izin-Nya) yakni : dengan perintah-Nya. Demikian dikatakan oleh Az-Zujaj, ada
juga yang mengatakan, bahwa maksudnya adalah dengan dimudahkan-Nya dan atas
petunjuk-Nya. Demikian menurut penulis Al-Kasysyaf.[18]
Larangan
mengawinkan perempuan muslimah dengan laki-laki termasuk Ahl–Kitab diisyaratkan
oleh Al-Baqarah. Isyarat ini dipahami dari redaksi surat Al-Baqarah 221 di
atas, yang hanya berbicara tentang bolehnya perkawinan pria muslim dengan
wanita Ahl-Kitab, dan sedikit pun tidak menyinggung sebaliknya. Sehingga,
seandainya pernikahan macam itu dibolehkan, maka pasti ayat tersebut akan
menegaskannya.[19]
VII.
KESIMPULAN
Larangan
perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda itu agakanya dilatarbelakangi oleh
harapan akan lahirnya sakinah dalam keluarganya. Perkawinan baru akan langgeng
dan tentram apabila terdapat kesesuainan pandangan hidup antarsuami dan istri,
karena jangankan berbeda agama, perbedaan budaya, atau bahkan perbedaan tingkat
pendidikan antara perkawinan. Memang ayat itu membolehkan perkawinan antara
laki-laki muslim dengan wanita Ahl-Kitab, tetapi kebolehan itu bukan saja
sebagian jalan keluar dari kebutuhan mendesak ketika itu, tetapi juga karena
seorang muslim mengakui bahwa Isa AS adalah nabi Allah pembawa ajaran agama.
Sehingga, pria yang biasanya lebih kuat dari perempauan—jika beragama
islam—dapat mentoleransi dan mempersilakan Ahl-Kitab menganut dan melaksanakan
syariat agama.
لَكُمْ دِيْنُكُمْ
وَلِىَ دِيْنِ
“Bagi kamu
agamamu dan bagiku agamaku”. (QS. Al-Kafirun: 6)
Ini berbeda
dengan Ahl-Kitab yang tidak mengakui Muhammad SAW sebagai nabi. Di sisi lain
harus pula dicatat bahwa para ulama yang membolehkan perkawinan laki-laki
muslim dengan Ahl-Kitab, juga berbeda pendapat tentang pendapat makna Ahl-Kitab
dalam ayat ini, serta keberlakuan hukum tersebut hingga kini.[20]
VIII.
PENUTUP
Demikianlah makalah tentang “Tafsir
Ayat Tentang Menikah Beda Agama” kami susun. Semoga pembahasan tentang tema
kali ini bermanfaat bagi kita semua. Sudah barang tentu, makalah ini masih
terdapat banyak kekurangan dan kesalahan, baik dalam segi penulisan maupun
isinya. Maka dari itu, diperlukan kritik dan saran yang membangun agar dapat
memacu penulis untuk lebih baik dalam menyusun makalah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Maraghi, Ahmad Musthafa. Tafsir
al-Maraghi, Terj, Jilid II. Semarang: Karya Toha Putra. 1992.
Al-Qurthubi, Syaikh Imam. Tafsir
al-Qurthuubi, Jilid III. Jakarta: Pustaka Azzam. 2010.
Asy-Syaukani, Al Imam Muhammad
bin Ali bin Muhammad. Tafsir Fathul Qadir. Jakarta: Pustaka Azzam. 2008.
Madjid, Nurcholish, dkk. Fiqih Lintas
Agama; Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis. Jakarta: Paramadina. 2004.
Syihab, M. Quraish. Tafsir Al-Misbah,
Volume I. Jakarta: Lentera Hati. 2000.
________________. Wawasan al-Qur’an; Tafsir
Maudhu’I atas Pelbagai Persoalan. Bandung: Penerbit Mizan. 1998.
Yaqub, Ali Mustafa. Nikah Beda Agama dalam
Al-Qur’an dan Hadits. Jakarta: Pustaka Firdaus. 2007.
[1] M. Quraish Syihab, Wawasan
al-Qur’an; Tafsir Maudhu’I atas Pelbagai Persoalan, (Bandung: Penerbit
Mizan, 1998), h. 191-192
[2] Nurcholish Madjid, dkk, Fiqih
Lintas Agama; Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, (Jakarta: Paramadina,
2004), h. 154-155
[3] Prof. KH. Ali Mustafa
Yaqub, MA, Nikah Beda Agama dalam Al-Qur’an dan Hadits, (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2007), h. 19-20
[4] Prof. KH. Ali Mustafa
Yaqub, MA, Nikah Beda Agama dalam Al-Qur’an dan Hadits, (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2007), h. 21-24
[5] Ahmad Musthafa Al-Maraghi,
Tafsir al-Maraghi, Terj, Jil II, (Semarang: Karya Toha Putra, 1992), h. 262
[6] M. Quraish Syihab, Tafsir
Al-Misbah, Volume I, (Jakarta: Lentera Hati, 2000), h. 576-577
[10] Syaikh Imam Al-Qurthubi, Tafsir
al-Qurthuubi, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2010), h. 149-150
[11]
Al Imam Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy-Syaukani,
Tafsir Fathul Qadir, terj, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h. 862
[12] Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Terj, Jil II, (Semarang:
Karya Toha Putra, 1992), h. 263
[14] M. Quraish Syihab, Wawasan Al-Qur’an;
Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: PT Mizan Pustaka,
2006), h. 195-196
[15] Prof. KH. Ali Mustafa
Yaqub, MA, Nikah Beda Agama dalam Al-Qur’an dan Hadits, (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2007), h. 37-38
[16] Prof. KH. Ali Mustafa
Yaqub, MA, Nikah Beda Agama dalam Al-Qur’an dan Hadits, (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2007), h. 38-39
[18] Al Imam Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy-Syaukani, Tafsir Fathul
Qadir, (Jakarta ; Pustaka Azzam,2008), terj h. 864 – 865
[19] M. Quraish Syihab, Wawasan Al-Qur’an;
Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: PT Mizan Pustaka,
2006), h. 197
[20] M. Quraish
Syihab, Wawasan Al-Qur’an; Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat,
(Bandung: PT Mizan Pustaka, 2006), h. 198
Artikel kamu bagus gan! aku selalu menunggu artikel kamu.. Seperti artikel berjudul Tafsir Mimpi kadal
BalasHapus